Bisnis.com, JAKARTA – Meski mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, penerimaan cukai khususnya cukai hasil tembakau (CHT) belum bisa menjadi jaminan untuk menopang penerimaan Bea Cukai tahun ini.
Apalagi, di lingkungan otoritas kepabeanan muncul pertanyaan apakah lonjakan penerimaan tersebut akan terus berlanjut atau hanya sementara?
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Nirwala Dwi Heryanto melihat lonjakan penerimaan penuh banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak menaikan tarif CHT dan menunda pelaksanaan simplifikasi CHT.
Implikasinya, realisasi tebusan cukai rokok lebih terurai dan mengakibatkan lonjakan penerimaan pada awal tahun. “Namun ini juga ada kecenderungan, pabrikan mengerem produksinya di akhir tahun,” kata Nirwala kepada Bisnis belum lama ini.
Hal ini berbanding terbalik ketika pemerintah menaikan tarif CHT. Biasanya, pabrikan hasil tembakau memiliki kecenderungan untuk menaikan produksi pada akhir tahun. Sehingga, setoran cukai pada penghujung tahun juga berlimpah.
Data Kementerian Keuangan menunjukan, penerimaan cukai pada kuartal 1/2019 mencapai Rp21,35 triliun, naik 165,1% dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp8,05 triliun. Kinerja penerimaan cukai selama kuartal 1/2019 tersebut banyak ditopang oleh penerimaan penerimaan CHT yang melesat di angka 189,14%.
Baca Juga
Kendati berdampak positif, bea cukai akan terus memantau pergerakan produksi rokok sampai kuartal selanjutnya. Nirwala bahkan menegaskan tujuan utama pengenaan cukai adalah untuk pengendalian konsumsi, sehingga secara prinsip tujuan tersebut harus dipegang.
Dia sendiri tak menampik, pertumbuhan penerimaan cukai rokok memang cukup tinggi, di mana secara year on year tumbuh 189,14% atau Rp20,31 triliun. Namun nilai Rp8,80 triliun dari total penerimaan tersebut merupakan pembayaran cukai 2018 (2 minggu Desember 2018) sebagai efek penundaan yang dilakukan pemerintah tahun lalu.
Sehingga, jika realisasi penerimaan cukai rokok dikurangkan dengan penundaan pembayaran tersebut, pertumbuhan CHT selama kuartal 1/2019 hanya sebesar 65% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dengan melihat postur penerimaan tersebut, otoritas fiskal tidak akan gegabah untuk menerbitkan suatu kebijakan guna mengontrol produksi rokok.
Bagi pemerintah, setiap kebijakan harus dihitung dengan cermat dan tepat. Misalnya momentum kenaikan dan nilai kenaikan sehingga bisa meminimalisasi dampak buruk misalnya dari aspek pertumbuhan rokok ilegal maupun dari penerimaan cukai.
Seperti diketahui target 2019, peredaran rokok ilegal ditekan dari 7,04 % menjadi 3 %. Pada kuartal/1 2019 operasi peredaran rokok ilegal berkontribusi pada penerimaan senilai Rp3,21 triliun dari pasar yang tadinya diisi rokok ilegal kemudian diisi dengan rokok legal.
Di sisi lain, tren produksi rokok setiap tahun juga menyusut. Pada 2016 total produksi rokok mencapai 341,7 miliar batang, jumlah ini menurun pada 2017 menjadi 336,4 miliar batang dan pada 2018 yang sebanyak 332,3 miliar batang.
“Sehingga sebenarnya terlalu dini untuk menyimpulkan akan ada kenaikan tarif karena terdapat kenaikan produksi. Adalah benar tingkat pertumbuhan produksi, tetapi apakah itu merupakan tren atau hanya bersifat seasional?," tegasnya.