Bisnis.com, JAKARTA - Kompleksitas pengelolaan transportasi di wilayah Jabodetabek dinilai tidak lagi dapat diselesaikan hanya dalam level aturan peraturan presiden (perpres) seperti pembentukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Pengamat/Ahli Hukum Tata Negara Ahmad Redi menyampaikan, otoritas BPTJ yang mengatur pengelolaan transportasi di Jabodetabek sangat terbatas. Oleh karenanya, diperlukan landasan hukum yang lebih tinggi dari sekedar perpres, yaitu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
“Masalah trasnportasi Jabodetabek sifatnya genting dan serius, sehingga perlu pembenahan serius. Makanya, pemerintah bisa membuat Perppu yang memperkuat regulasi BPTJ,” paparnya, dalam diskusi panel Menyoal Masa Depan SistemTransportasi Jabodetabek, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Menurutnya, pemerintah dapat mempertimbangkan membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menjadi omnibus law transportasl Jabodetabek.
Masalah transportasi Jabodetabek menjadi masalah yang genting karena menyangkut dampak besar pada perekonomian nasional, lingkungan hidup, kesehatan, ketentraman masyarakat. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian akibat kemacetan di ibu kota mencapai Rp67 triliun per tahun.
Dia menilai otoritas BPTJ harus ditingkatkan dari sekedar pejabat setingkat eselon I menjadi lembaga pemerintahan nonkementerian (LPNK) yang berkedudukan di bawah presiden, dan bertanggung Jawab kepada presiden melalui menteri yang mengoordinasikan seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam.