Bisnis.com, JAKARTA - Airborne surveillance atau operasi pengawasan via udara menjadi salah satu instrumen tambahan yang diupayakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menjaga keamanan wilayah perairan Indonesia dari para pelaku illegal fishing.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus menjelaskan airborne surveillance menjadi upaya tambahan yang tengah ditingkatkan oleh PSDKP mulai tahun ini guna melakukan pengawasan yang terintegrasi. Hasilnya pun menunjukkan kinerja yang positif.
“Selain proses pengawasan dengan patroli, kami juga melakukan airborne surveillance. Ada 19 hari operasi. Yang pertama itu di Pangkalan Operasi Natuna, Banjarmasin, Manado, dan Batam, meliputi Wilayah Penangakpan Perikanan (WPP) 711, 712, 713, dan 716. Hasilnya, ada 9 kapal yang ditangkap, ada penyitaan 12 alat tangkap terlarang, dan 9 rumpon yang kami potong di wilayah tersebut,” paparnya dalam konferensi pers, Kamis (11/4/2019).
Selain airborne surveillance, PSDKP juga memanfaatkan informasi dari masyarakat melalui sms gateway. Hasilnya sejak Januari 2019 hingga 11 April 2019 ada 38 (tiga puluh delapan) kapal ikan ilegal yang telah diamankan terdiri dari 15 Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam, 13 KIA Malaysia, dan 10 Kapal Ikan Indonesia (KII).
Jumlah tersebut menambah total tangkapan kapal ikan ilegal yang berhasil ditangkap oleh KKP sepanjang tahun 2014-2019 (April) yang mencapai angka 582 kapal.
Selain itu, Direktorat Jenderal PSDKP juga melaksanakan operasi penertiban alat bantu penangkapan ikan “rumpon” ilegal yang banyak dipasang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-RI).
Setidaknya, selama 3 (tiga) bulan pertama di tahun 2019, Kapal Pengawas (KP) Orca 04 telah menertibkan sebanyak 9 unit rumpon yang berlokasi di perairan Sulawesi Utara, yang berbatasan langsung dengan Filipina. Menurutnya, hal itu dilakukan agar pergerakan ikan tuna tidak terhambat sehingga bisa masuk ke perairan Indonesia. Hasilnya, saat ini Indonesia telah menjadi pemsasok ikan tuna eskpor terbesar di dunia.
“Alhamdulillah nelayan-nelayan tradisional kita sekarang bisa mendapatkan banyak ikan tuna sehingga Indonesia memiliki neraca perdagangan tuna tertinggi di dunia,” ujar Agus.
Sebagai informasi, sekitar satu dari enam tuna yang ditangkap di seluruh dunia selama tiga tahun terakhir berasal dari Indonesia. Sebagai penghasil tuna terbesar, Indonesia menjadi pemasok utama pasar Jepang, Amerika, Uni Eropa, Korea, dan Hongkong.
Selain pengawasan illegal fishing dan rumpon ilegal, Direktorat Jenderal PSDKP bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Penegakan Hukum LHK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga turut serta mendorong pembayaran kerugian sebesar Rp35 miliar atas kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Bangka Belitung yang diakibatkan oleh kandasnya MV. Lyric Poet dan MT. Alex.
Sejak penyelesaian sengketa di luar pengadilan disepakati pada tanggal 14 Februari 2019, kapal MT. Alex dan MV Lyric Poet telah membayar ke negara melalui rekening ke PNBP pada 27 Maret 2019 sebesar US$1,346 juta atau setara Rp18,894 miliar. Sementara itu, MV. Lyric Poet membayar kerugian dengan nilai US$1,180 juta atau setara Rp16,718, miliar.
Untuk kasus-kasus lain serupa, Direktorat Jenderal PSDKP bersama Ditjen Penegakan Hukum LHK terus bekerjasama dalam rangka penyelesaian ganti kerugian kerusakan ekosistem laut.
Dalam kesempatan yang sama, Agus juga menyampaikan penanganan kasus Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan (TPKP) sepanjang tahun 2014 hingga 2019 (per 11 April) yang telah mencapai 915 kasus TPKP.
“Sedangkan kita di bulan Januari (2019) sampai sekarang ada 33 kasus yang kita pantau. Yang pertama, status inkracht ada 3, dalam proses sidang 2 kasus (P21), penyidikan ada 11, tindakan lain ada 4, tindakan administrasi ada 3, dan pemeriksaan pendahuluan ada 8,” jelasnya.
Guna terus mengawasi TPKP tersebut, Agus menyatakan bahwa pihaknya saat ini tengah aktif melakukan pengawasan Visual Monitoring System (VMS) untuk memonitor pelanggaran-pelanggaran kapal.
Pelanggaran tersebut di antaranya berupa pelanggaran daerah penangkapan ikan di WPP, laut lepas, territorial I dan negara lain. Selain itu, VMS juga turut membantu dalam mengawasi operasi kapal tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), transshipment, dan pelanggaran di pelabuhan muat.
“Kami aktif memberikan peringatan kepada para pelaku usaha agar kepatuhan terhadap upaya perbaikan transformasi di sektor perikanan tangkap khususnya terus meningkat,” ucap Agus.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal PSDKP bersama-sama dengan Kementerian Luar Negeri selama Januari hingga Maret 2019 telah memulangkan 38 nelayan Indonesia yang ditangkap di luar negeri. Komposisi tersebut terdiri dari 6 orang yang dipulangkan dari Malaysia, 18 orang dipulangkan dari Timor Leste, dan 14 orang dipulangkan dari Myanmar Kapal-kapal tersebut tertangkap karena melakukan penangkapan ikan tanpa izin di negara lain.
Terkait hal ini, Agus menyebutkan penguatan penjagaan di perbatasan juga dilakukan untuk mencegah keluarkan kapal ikan Indonesia ke wilayah perairan negara lain untuk melakukan penangkapan ikan di sana.