Bisnis.com, JAKARTA- Peneliti Institute for Develpoment of Economics & Finance (Indef) Fadhil Hasan mengungkapkan hampir keseluruhan kerjasama dagang level internasional, tidak memberikan manfaat bagi perekonomian nasional. Sebaliknya, dari sekian perjanjian dagang, justru menelorkan defisit neraca dagang.
Sebab, katanya, sejauh ini terkesan strategi FTA dilaksanakan secara parsial. “FTA seolah berjalan sendiri untuk meningkatkan ekspor, padahal di balik itu harus ada penguatan industry, analisa industri prioritas,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Di sisi lain, dia menegaskan perancang perekonomian nasional seolah tidak bisa keluar dari kurungan rumus pertumbuhan yang bertumpu pada sisi permintaan (demand side). Pola itu, tegas Fadhil, membuat pemerintah tidak bekerja ekstra mengembangkan strategi industri.
Paling gamblang fakta yang menggambarkan pola pertumbuhan tersebut yaitu pergerakan ekspor ataupun pertumbuhan, positif naik jika permintaan ekspor komoditas meningkat. Begitupun jika terjadi relaksasasi di luar negeri, pertumbuhan juga diungkit lewat kepemilikan portofolio oleh asing.
“Kita tidak tumbuh secara kualitatif dengan supply side, meningkatnya barang produksi kita di pasar ekspor ataupun investasi yang sifatnya mendorong manufaktur,” tegas Fadhil.
Soal lainnya juga disampaikan Ekonom Senior Indef Nawir Messi. Dia menuturkan selama ini FTA hanya digiring oleh kepentingan politis semata, bukan pertimbangan bisnis dan benefit ekonomi.
Sebagai contoh, sewaktu dirinya ikut dalam tim perundingan IJEPA, yang saat itu berlangsung alot dan belum menemukan titik kesepakatan, presiden malah keburu mengesahkan. “Kita sedang berunding, presiden dan perdana menteri sudah jabat tangan,” kenangnya.
Sejak 2014, Indonesia terbilang belum sukses mengubah peruntungan perdagangan dengan negara mitra utama. Setidaknya, terdapat mitra utama perdagangan internasional bagi Indonesia yang menyumbang nilai ekspor, maupun mengisi kebutuhan impor.
Negara itu antara lain yang berasal dari Asean, Uni Eropa, serta negara mitra lainnya seperti China, Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan. Dua negara lain yaitu India dan Taiwan.
Dengan negara-negara Asean, Indonesia mencatatkan penguatan perdagangan. Jika pada 2014, neraca dagang non migas tercatat defisit sebesar US$889,6 juta, maka selepas itu keseimbangan ekspor dan impor selalu menghasilkan surplus, terakhir pada tahun lalu tercatat surplus mencapai US$3,9 miliar.
Mitra strategis kedua yaitu Uni Eropa. Negara-negara “Benua Biru” selalu mendatangkan untung buat Indonesia. Meski nilai surplus fluktuatif, hingga kini Indonesia mempunyai catatan perdagangan yang positif, pada 2014 tercatat surplus sebesar US$4,21 miliar, sedangkan pada tahun lalu mencapai US$2,97 miliar, sedangkan periode Januari-Februari tahun ini surplus yang dikoleksi sebesar US$440,3 juta.
Selain mengincar untung dari perdagangan terhadap dua kawasan tersebut, Indonesia masih mampu mengempit surplus dari transaksi dengan Amerika Serikat serta India. Dengan Abang Sam, surplus perdagangan non migas itu rata-rata mencapai US$7,5 miliar, sedangkan dari India, surplus yang dibungkus rata-rata mencapai US$8 miliar.
Persoalannya, bagi Indonesia, terdapat mitra dagang yang boleh dikatakan sukar menembus pasar, namun kewalahan bertahan. China, Jepang, Australia, serta Korea Selatan selalu jadi kampiun perdagangan buat Indonesia.
Pada 2014, bertransaksi dengan Tiongkok, telah melesakkan kekalahan dagang buat Indonesia sebesar US$14,0 miliar. Bahkan, pada tahun lalu, defisit itu menggelembung hingga US$20,85 miliar.
Dengan Jepang, nilai defisit perdagangan non migas naik turun. Pada 2014, defisit mencapai US$2,3 miliar, sedangkan pada tahun lalu menjadi US$1,63 miliar, namun pada periode Januar-Februari tahun ini defisit itu telah tumbuh hingga US$413,4 juta.
Pertarungan serupa dilakoni Indonesia dengan Korea Selatan. “Negeri Gingseng” pernah membuat neraca dagang non migas morat-marit, yaitu pada 2014 dengan catatan defisit sebesar US$2,03 miliar, secara perlahan defisit itu dikikis hingga US$210,6 juta pada tahun lalu.
Adapun Taiwan, sesekali memberikan untung, tetapi juga pernah mengungguli perdagangan dengan Indonesia. Pada 2014, Indonesia mencatatkan surplus dagang dengan Taiwan sebesar US$249,8 juta, sebaliknya Taiwan telah menciptakan defisit dagang pada 2016 dan 2017, yang masing-masing periode mencapai US$296,4 juta dan US$399,3 juta.