Bisnis.com, JAKARTA — Kuota Indonesia untuk penangkapan tuna mata besar dari Komisi Perikanan Pasifi k Tengah dan Barat di Samudra Pasifik berpotensi dikurangi karena tidak mampu merealisasikan jatah itu dengan optimal.
Indonesia mendapatkan kuota penangkapan tuna mata besar (big eye) sebanyak 5.889 ton pada periode 2016—2017 di wilayah penangkapan ikan di bawah pengawasan Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (Western and Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC).
Selama periode itu, Indonesia hanya mampu memanfaatkan kuota tersebut sebanyak 8 ton pada 2016 dan 13 ton pada 2017 atau di bawah 0,5%.
“[Besaran kuota tangkapan kami] sudah diributkan oleh Amerika Serikat, terus ini mau diambil,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesian (MDPI) Saut Tampubolon, baru-baru ini.
Saut menyebutkan, selain Amerika Serikat, China sedang mengintai kuota tangkapan tuna mata besar Indonesia di daerah kelolaan WCPFC.
Dia khawatir, jika hal ini terus berlangsung, keinginan kedua negara tersebut untuk mengambil kuota Indonesia bisa terpenuhi.
Padahal, untuk merebut kembali kuota penangkapan tuna mata besar tidak mudah. Menurutnya, volume penangkapan ikan tuna Indonesia di daerah ini karena kapal berukuran besar, yaitu minimal 250 gross tonnage (GT), untuk beroperasi di Samudra Pasifik.
Pemerintah Indonesia, katanya, belum memberi izin bagi kapal penangkap ikan untuk beraktivitas di laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang berada di bawah kelolaan WCPFC. “Izin [kapal berukuran besar] tidak dikasih [oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan],” katanya.
Selain di wilayah kelolaan WCPFC, Indonesia juga berpotensi mengalami kerugian dalam pemanfaatan tangkapan tuna di Samudra Hindia yang ada di bawah pengawasan Komisi Tuna Samudra Hindia (Indian Ocean Tuna Commission/IOTC).
IOTC membatasi jumlah tangkapan berasama (total allowable catch/TAC) untuk seluruh anggota yang diperbolehkan melakukan penangkapan di wilayah ini khususnya untuk jenis tuna sirip biru, tuna mata besar, dan albacore.
Total tangkapan tuna yang diizinkan berdasarkan rekomendasi IOTC Scientific Committee Meeting pada 2015 antara lain 421.000 ton per tahun untuk tuna sirip kuning, 132.000 ton per tahun tuna mata besar, dan 47.600 ton per tahun albacore.
Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan memastikan bahwa kuota tangkapan tuna mata besar Indonesia di Samudra Pasifik tidak akan berkurang.
Kepala Sub Direktorat Sumber Daya Ikan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Laut lepas, KKP Truan Yunanda menyebutkan bahwa negara yang banyak menangkap dan kuotanya dibatasi memang menginginkan adanya transfer kuota untuk menutupi kebutuhan bahan baku industrinya dan kuota tangkapan yang dimiliki masing-masing negara memang bisa ditransfer ke negara lain. “Secara aturan kuota tersebut memang bisa ditransfer.”
Dia mencontohkan kuota milik Jepang yang ditransfer kepada China pada 2017 lalu. Selain itu, sejumlah negara juga pernah mendekati Indonesia untuk bisa memanfaatkan kuota yang dimiliki. Namun, keputusan untuk memberikan kuota tersebut, katanya, pada akhirnya bergantung pada pemilik kuota.
“Masalah transfer atau tidak itu adalah hak negara yang bersangkutan dan bila transfer terjadi seperti Jepang ke China maka kuota itu tetap milik Jepang hanya sementara ditransfer ke China,” jelasnya.
Untuk Indonesia sendiri, menurutnya, tidak memiliki regulasi tenyang transfer kuota hingga saat ini dan hal tersebut tidak dimungkinkan oleh aturan hukum yang berlaku saat ini.
Adapun untuk kasus transfer yang dilakukan oleh Jepang kepada China, harus dilakukan dengan persetujuan komisi di mana Indonesia menjadi salah satu komisi yang gtidak setuju terjadinya hal tersebut.
“Karena kondisi stok big eye yang belum menunjukkan recovery,” ujar Trian terkait alasan tidak setujunya Indonesia.