Bisnis.com, JAKARTA — Skema budi daya silvikultur intensif atau Silin dinilai berpotensi berbenturan dengan persyaratan sertfikasi produk kehutanan yang diterbitkan Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia.
Lembaga sertifikasi itu menilai bahwa penerapan skema budi daya silvikultur intensif di areal hak pengusahaan hutan atau HPH hampir sama dengan pengelolaan hutan tanaman industri dalam skala kecil.
Country Manager FSC Indonesia Hartono Prabowo mengatakan meskipun program silvikultur intensif bertujuan untuk menggenjot produktivitas hutan alam, skema itu seperti setelah melakukan konversi dari hutan alam menjadi hutan tanaman industri.
Padahal,menurutnya, FSC mensyaratkan konversi hutan alam ke tanaman lain hanya seluas 5% dari total areal HPH. “Persyaratan FSC [silvikultur intensif] boleh dilakukan hanya boleh 5% dari total areal HPH,” katanya kepada Bisnis, Rabu (27/3).
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Siti mengklaim bahwa silvikultur intensif merupakan terobosan penting dan dapat menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan penurunan kualitas serta kuantitas hutan alam di Indonesia.
Sebagai contoh, tambahnya, dengan menggunakan metode silvikultur intensif, panen kayu meranti bisa dilaksanakan lebih cepat dengan kisaran usia kayu 15 tahun—30 tahun.
Proses ini, katanya, lebih efektif dibandingkan dengan sistem tebang pilih tanaman Indonesia karena kayu baru bisa dipanen setelah berusia sekitar 40 tahun—50 tahun.
“Untuk melaksanakan silin [silvikultur intensif] diperlukan sekitar 10%— 25% dari luasan areal efektif pengusahaan, dan ke depannya yang akan diandalkan dalam peningkatan produksi hutan alam adalah hasil dari teknik silin ini.”