Bisnis.com, JAKARTA—Peningkatan penetrasi ke pasar non tradisional perlu ditingkatkan agar penurunan ekspor industri pengolahan bisa diredam.
Mohammad Faisal, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, mengatakan hingga kini, pangsa pasar negara-negara tradisional tujuan ekspor dibandingkan negara nontradisional cukup kontras. Pada 2018, ekspor ke 13 negara tujuan utama sebesar 70% dan sisanya di luar negara tradisional.
“Mencari pasar lain memang diperlukan walaupun dari sisi nilai pasarnya lebih kecil dibandingkan negara tujuan utama, tetapi bisa meredam ekspor supaya tidak turun terlalu tajam,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/3/2019).
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor industri pengolahan sepanjang Januari—Februari 2019 tercatat senilai US$19,61 miliar atau turun 5,96% secara tahunan dari US$20,86 miliar.
Dia menyebutkan beberapa negara nontradisional yang bisa dijadikan alternatif tujuan ekspor, antara lain negara-negara kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika. Saat ini, penetrasi ekspor ke pasar nontradisional tersebut masih kurang.
Padahal, kondisi ekonomi negara-negara tersebut relatif lebih kuat dibandingkan negara tujuan utama ekspor, seperti China yang mengalami perlambatan. “BPS merilis Februari 2019 ekspor ke China dan Amerika Serikat turun, tetapi ekspor ke Kazakhstan naik,” jelasnya.
Pada bulan kedua tahun ini, tercatat nilai ekspor ke Negara Paman Sam mengalami kontraksi yang paling dalam dengan penurunan senilai US$238,7 juta yang diikuti oleh China senilai US$191,1 juta, dan Jepang senilai US$162,3 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Padahal, pangsa pasar tiga negara tujuan utama ekspor tersebut sebesar 34,30%.
Di sisi lain, ekspor ke Kazakhstan mencatatkan peningkatan terbesar ketiga dengan kenaikan senilai US$50,6 juta, sedangkan kenaikan tertinggi adalah ekspor ke Malaysia dengan peningkatan senilai US$84,8 juta dan Hongkong senilai US$68,2 juta.
Lebih jauh, peluang ekspor ke negara kawasan Timur Tengah masih banyak terbuka apalagi saat ini harga minyak mentah dunia cenderung membaik sehingga mengkerek permintaan ekspor dari negara-negara penghasil minyak dunia tersebut.
“Ekspor produk makanan dan minuman serta tekstil dan alas kaki sangat terbuka di kawasan Timur Tengah, apalagi taste Indonesia dan kawasan tersebut mirip, seperti aspek kehalalan produk. Semestinya Indonesia bisa menguasai pasar Timur Tengah,” kata Faisal.
Selama Januari—Februari 2019 industri pengolahan masih menjadi kontributor utama dari total ekspor nasional sebesar 74,13%.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik lebih banyak investasi. Pasalnya, Indonesia membutuhkan peningkatan devisa dari ekspor dan penghematan devisa dari investasi industri subtitusi impor.
Langkah pemerintah yang telah dijalankan antara lain memberikan kemudahan perizinan usaha, menjaga ketersediaan bahan baku, serta menyiapkan sumber daya manusia terampil melalui pendidikan dan pelatihan vokasi. Airlangga menyebutkan pihaknya sedang fokus menggenjot investasi dan ekspor di lima sektor yang menjadi prioritas dalam Making Indonesia 4.0, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektronika.
“Sebab, kelima sektor manufaktur ini mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian,” tuturnya.
Adapun, lima sektor manufaktur yang pertumbuhannya di atas 5% dan memiliki kinerja ekspor yang baik sepanjang tahun lalu antara lain industri makanan dan minuman dengan nilai ekspor US$29,91 miliar, disusul industri tekstil dan pakaian jadi sebesar US$13,27 miliar, serta industri logam dasar US$15,46 miliar.
Selanjutnya, industri karet, barang dari karet dan plastik dengan ekspor senilai US$7,57 miliar, serta industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki di angka US$5,69 miliar. Di samping itu, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia mencatatkan ekspor senilai US$13,93 miliar, kemudian kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, dan alat angkutan lainnya senilai US$8,59 miliar, serta pengapalan barang komputer, barang elekronik dan optik mencapai US$6,29 miliar.