Bisnis.com, JAKARTA—Penolakan terhadap perjanjian dagang dan ekonomi komprehensif, Regional Comprehensive Economic Patnership (RCEP) muncul dari sejumlah kelompok masyarakat.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi, bersama dengan masyarakat sipil negara anggota RCEP lainnya yakni India, Filipina dan Malaysia mendesak pemerintah masing-masing negara untuk tidak menyepakati RCEP.
Salah satu perwakilan dari kelompok masyarakat Yayasan Manikaya Kauci, I Nyoman Mardika menuding, proses perundingan senantiasa berlangsung rahasia dan tidak transparan. Selain itu menurutnya, tidak ada isi perjanjian yang dibuka ataupun informasi secara utuh bagi publik.
Padahal menurut dia, perjanjian ini akan berdampak bagi masyarakat luas di berbagai sektor kehidupan. Adapun secara substansi, banyak ketentuannya yang bermasalah.
Dia mengklalim salah satu yang intensif dirundingkan adalah upaya perlindungan yang lebih besar bagi investor asing dan abai akan perlindungan HAM warga yang merupakan tanggung jawab negara.
“Setidaknya 5 tahun penolakan secara meluas masyarakat Bali terhadap reklamasi Teluk Benoa adalah bentuk nyata perlawanan masyarakat atas proyek investasi yang menghancurkan ruang hidup dan budaya masyarakat di Bali” ujarnya, seperti dikutip dari keterangan resminya, Rabu (27/2/2019).
Baca Juga
Menurutnya, reklamasi di sejumlah titik pesisir di Indonesia jelas akan menggusur masyarakat pesisir dan nelayan, yang 90% di antaranya merupakan nelayan skala kecil.
Sementara itu, Henri Pratama perwakilan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dari sektor perikanan bukan tentang peningkatan investasi, tetapi terkait degan perlindungan terhadap perkerja perikanan, pemberdayaan terhadap nelayan kecil dan tradisional serta peningkatan kesejahteraan mereka.
“Fakta di lapangan menjelaskan bahwa investasi hanya merebut ruang hidup nelayan. Pembangunan pelabuhan menggeser akses nelayan ke laut, reklamasi menghilangkan wilayah tangkap nelayan,” jelasnya.
Penolakan juga muncul dalam pembahasan pada Bab Kekayaan Intelektual dalam RCEP. Dalam bab tersebut RCEP mewajibkan negara-negara anggota untuk bergabung dan menetapkan aturan nasional berdasarkan UPOV 1991.
“Aturan itu merupakan platform perlindungan varietas tanaman di global yang membatasi bahkan menghilangkan hak petani untuk mengembangkan, menyimpan, dan bertukar benih-benih yang telah dipatenkan, ” ujar Kartini Samon, peneliti dari GRAIN.
Olisias Gultom, peneliti senior Indonesia for Global Justice menyebutkan, bab lain yang juga mengkhawatirkan mengenai e-commerce yang didorong akan segera difinalisasi.
Dia menegaskan bahwa pembahasan bab ini harus dihentikan. Pasalnya menurut dia, bab e-commerce tidak hanya terbatas pada perdagangan digital tapi juga mencakup semua aspek perekonomian dan terkait dengan sektor lain.
“Sementara bab e-commerce belum membahas mekanisme transaksi dan pembayaran produk digital yang akan merugikan negara-negara anggota RCEP dan hanya memberi keuntungan kepada korporasi,” tudingnya,