Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha ritel mengaku sangat keberatan dengan adanya perda larangan kantong plastik.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta mempertanyakan perda larangan kantong plastik ini diterapkan untuk siapa? Apakah untuk semua pelaku usaha? Kalau tidak semua pelaku usaha berarti ada ketimpangan.
Menurutnya, perda larangan kantong plastik ini kurang tepat, karena untuk mengurangi kantong plastik yang benar adalah menerapkan kantong plastik yang ekolabel dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Sampai saat ini beberapa anggota Aprindo, terus berupaya untuk mengurangi kantong plastik, dengan menerapkan aturan berbayar. Ini memang komitmen kami untuk mengurangi pemakaian kantong plastik," kata Tutum dalam keterangan resmi, Minggu (23/2/2019).
"Dampak yang ditimbulkan soal perda larangan kantong plastik, sebetulnya bukan ke kami saja tetapi ke konsumen yang kerepotan, jadi saya kira bukan hanya dari retailer. Kalau retailer dengan mudah mengatakan tidak dikasih kantong plastik, tapi ini kan harus dilihat kesiapan konsumen juga. Apakah mereka siap kalau mereka harus membawa barang yang begitu banyak tanpa adanya kantong plastik? Ini membuat konsumen kesulitan," jelas Tutum.
Tutum mengungkapkan, aturan yang paling tepat terkait dengan penggunaan kantong plastik yaitu bukan persoalan larangan, kalau orang dipaksa untuk mengurangi mungkin bisa, tetapi tidak bisa sampai 0%.
Penerapan aturan kantong plastik yang mudah diurai tersebut juga perlu diikuti dengan program-program edukasi kepada masyarakat mengenai dampak negatif sampah plastik. Edukasi tersebut dilakukan agar masyarakat menggunakan kantong belanja sendiri yang bisa digunakan berkali-kali.
Hanya saja, dengan adanya peraturan daerah yang melarang penggunaan kantong plastik di ritel modern tidak sesuai dengan aturan yang ada. Rencana pemerintah dalam pelarangan penyediaan kantong belanja plastik di ritel modern kurang sejalan, terutama tidak sesuai dengan tujuan pengurangan dan pengelolaan sampah.
Tutum menjelaskan hal tersebut tertulis dalam peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 pasal 1 Ayat 3 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Begitu juga dengan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 pasal 3 Ayat 2 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Di tempat berbeda, Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Taufik Bawazier menilai pemberian insentif fiskal kepada pemda yang menerbitkan peraturan pelarangan penggunaan kantong dan produk plastik, sama saja dengan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara.
Pemberian insentif kepada pemda tersebut bukanlah solusi yang tepat dalam penanganan sampah plastik di Tanah Air. Kebijakan tersebut kontradiktif dengan kontribusi sektor industri plastik terhadap sumbangan ke Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan pajak nasional.
"Dengan melarang plastik berarti menghilangkan potensi penerimaan negara," kata Taufik.
Pada tahun ini, penerimaan cukai plastik dalam APBN 2019 dipatok sebesar Rp500 miliar. Angka tersebut sama seperti target penerimaan cukai plastik pada 2018.
Taufik mengatakan, solusi dalam penanganan sampah plastik sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 18/2018 tentang Sampah, yang bunyinya ada berbagai kewajiban Pemda dan Kementerian/Lembaga terkait untuk mengelola sampah.
"Dengan melakukan pengelolaan yang sampah yang baik, sampah plastik yang jumlahnya 16% dari total sampah dapat diolah kembali dan dimanfaatkan sebagai energi listrik, pupuk, dan bahan baku scrap industri recyling plastik," tutur Taufik.
Demi pengelolaan sampah plastik dengan baik, kata Taufik, Kementerian melakukan bimbingan dan mengusulkan keringanan pajak untuk industri daur ulang plastik. Namun, keringanan pajak tersebut hingga saat ini belum terealisasi.
"Kita memberikan bimbingan teknis bagi industri daur ulang untuk dapat memanfaatkan scrap bahan baku plastik menjadi lebih baik," kata Taufik.
Kemenperin berharap agar penyelesaian masalah sampah plastik yang sebenarnya masih memiliki nilai ekonomi dan menghidupi banyak pihak, tak terkecuali pemulung, dapat dibahas secara hati-hati, dan menyeluruh, sehingga tidak mematikan industri plastik nasional.