Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Masa Berlaku Batas Harga Rumah Bersubsidi 5 Tahun Tak Efektif

Praktisi perumahan dan pengembang menganggap rencana pemerintah untuk menetapkan masa berlaku batas harga rumah bersubsidi selama 5 tahun tidak efektif karena harga lahan dan bahan bangunan kenaikannya cukup cepat.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, JAKARTA—Praktisi perumahan dan pengembang menganggap rencana pemerintah untuk menetapkan masa berlaku batas harga rumah bersubsidi selama 5 tahun tidak efektif karena harga lahan dan bahan bangunan kenaikannya cukup cepat.

Ketetapan batas atas harga rumah subsidi tersebut menjadi acuan para pengembang yang menggarap hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam menjual produknya. Untuk tahun ini, pemerintah berencana menaikkan batas harga rumah bersubsidi sebesar 3% hingga 7,75%. Peraturan tersebut sudah diusulkan kepada Kementerian Keuangan dan diberlakukan dalam waktu dekat.

Sekjen DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida menyatakan, REI mendukung keputusan pemerintah untuk menaikkan batasan harga rumah antara 3% hingga 7,5%. Sebelumnya, REI sempat mengusulkan kenaikan antara 10% hingga 20%.

“REI mengusulkan naik 10% sampai dengan 20%, setelah berdiskusi dengan Kementerian PUPR, menyangkut kemampuan bayar MBR, akhirnya kami sepakat di angka 3% hingga 7,5%,” kata Totok kepada Bisnis, Kamis (7/2).

Totok mengatakan, setelah diberlakukan, selanjutnya akan dibicarakan kembali kenaikan harga rumah subsidi. Jika pada 2020 tidak naik kembali, katanya, pengembang rumah bersubsidi akan kesulitan.

“Kalau tidak naik, pengembang tidak ada yang bangun. Akan tetapi, juga harus dipertimbangkan gaji dan kemampuan beli MBR, sehingga tetap mengedepankan penyediaan rumah rakyat berpenghasilan rendah,” tambah dia.

Pakar hukum pertanahan dan properti Indonesia Eddy Leks menyampaikan bahwa jangka waktu 2 tahun untuk menerapkan batasan harga rumah subsidi ke depan lebih tepat dibandingkan dengan harus menunggu hingga 5 tahun.

“Jika terlalu panjang, biaya-biaya yang sudah meningkat tidak bisa diakomodasi untuk meningkatkan nilai jual rumah subsidi. Ini akhirnya akan merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal setiap tahun pasti harga rumah akan meningkat,” kata Eddy kepada Bisnis, Kamis (7/2).

CEO Elang Group Elang Gumilang mengatakan, kenaikan 7,5% batas harga rumah subsidi masih dalam tahap yang wajar karena diiringi dengan kenaikan upah minimum pekerja.

Terkait dengan penerapan 2 tahun, pihaknya yakin pemerintah sudah cukup matang dalam mempertimbangkannya, mengingat target program sejuta rumah pemerintah juga cukup besar tahun ini.

Pakar hukum properti Erwin Kallo menyebut, seharusnya pemerintah tidak coba-coba dalam membuat peraturan karena pengembang dan konsumen membutuhkan kepastian.

“Secara hukum sah saja mengeluarkan peraturan untuk jangka pendek, karena itu kebijakan, tapi harusnya tidak coba-coba. Jual properti tidak sama dengan jual barang yang langsung selesai, tapi berkelanjutan, jadi butuh kepastian jangka panjang,” kata Erwin kepada Bisnis, Rabu (6/2).

Menurut dia, masalah kenaikan harga tinggal disesuaikan dengan inflasi, yang penting kebijakan tidak untuk jangka waktu yang pendek.

Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati Group (SPS) Asmat Amin juga menyampaikan, hingga saat ini, pihaknya masih menunggu pemerintah mengeluarkan harga baru. Sambil menunggu, SPS telah memulai pembangunan agar tidak terlambat untuk mengejar target 2019.

Menurutnya, dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan perubahan harga tiap tahun, memberikan ketidakpastian kepada para pengembang rumah subsidi.

“Dasar dari kebijakan hanya menerbitkan 1 tahun apa, artinya ketidakpastian semakin besar. Tahun lalu kan terlambat 4 bulan karena kebijakan SLF, tahun ini begitu pula, kebijakan harga baru juga belum keluar,” kata Asmat.

Dia memaparkan, untuk membangun suatu area, pengembang juga membutuhkan waktu yang lama. Beberapa hal yang masih harus diperhatikan menurut dia adalah pengurusan izin yang masih memakan waktu yang lama, meskipun sudah ada program Online Single Submission (OSS), di sejumlah daerah pengajuan izin secara online itu masih belum diterapkan.

Selain itu, yang membutuhkan proses lama adalah proses perizinan untuk analisis dampak lingkungan (amdal). “Kami bangun perumahan, bukan kawasan industri. Kalau perumahan tapak tidak perlu amdal, kecuali superblok. Kan tidak ada limbah berbahaya, kalau kebakaran, jalan kan sudah selesai semua. Untuk amdal saja bisa sampai setahun atau 2 tahun,” jelas Asmat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper