Bisnis.com, JAKARTA — Minimnya penggunaan teknologi mahadata di kalangan pelaku industri ritel modern ditengarai menjadi penyebab sektor tersebut kesulitan mengembangkan bisnis yang mampu menjawab keinginan konsumen Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menjabarkan, baru 95% atau sekitar 570 dari total 600 anggota asosiasinya yang telah menerapkan sistem perdagangan daring. Namun, hanya 3 di antaranya yang baru mulai menggunakan sistem mahadata (big data).
“Penggunaan mahadata memang masih sedikit. Kami sedang berusaha menuju ke sana,” ujarnya, Selasa (29/1/2019).
Menurutnya, selama ini mayoritas peritel modern di Tanah Air masih enggan menggunakan mahadata karena terkendala masalah investasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta ketersediaan tenaga ahli.
Padahal, sebutnya, penggunaan mahadata akan mempermudah perusahaan ritel untuk menganalisis perilaku konsumen beserta keinginan mereka.
Peritel juga semakin mudah melakukan prediksi kebutuhan barang sehingga volume barang terbuang (waste products) bisa dikurangi. Adapun, rerata barang terbuang dari pelaku ritel modern mencapai mencapai 10% dari total barang yang dijual.
Roy menambahkan, penggunaan mahadata pada ritel modern juga dapat memfasilitasi penghitungan pertumbuhan bisnis ritel secara lebih akurat. Caranya adalah dengan mengganti metode penghitungan same-store sales growth menjadi same-costumer sales growth.
“Artinya, kita tidak lagi melihat pertumbuhan gerai sejenis, tetapi lebih melihat peningkatan pertumbuhan belanja pelanggan. Pada akhirnya, tentu yang diinginkan adalah memaksimalkan penjualan,” kata Roy.
Menurutnya, sistem mahadata membutuhkan investasi yang besar karena peritel harus mengumpulkan data dari penyedia layanan keuangan dan pelanggan setia yang membutuhkan pemantauan sebelum dapat digunakan secara efektif.
“Jadi, sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum kami bisa menggunakan mahadata ini,” tuurnya.
Managing Director of Digital, Digital Commerce Lead, Customer Insights and Growth Lead Accenture Mohammed Sirajuddeen mengatakan, peritel perlu mempercepat penggunaan mahadata karena dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan sektor tersebut sebesar 5%.
Lebih lanjut, dia berpendapat peritel modern di Indonesia pun harus sudah mulai mempertimbangkan penggunaan sistem robotik pada gerai-gerai luringnya. Pasalnya, sistem tersebut dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan gerai.
Dari sisi pelaku usaha, Corporate Affair Director PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (Alfamart) Solihin Putera mengaku perusahaan juga sudah mulai meningkatkan pengumpulan data lebih banyak demi menciptakan satu platform mahadata.
“Pastinya kami juga akan mengarah ke sana. Semakin baik kami mengenal konsumen kami, semakin baik kinerja perusahaan dalam melayani pelanggan kami,” katanya.
Solihin menyebutkan, perusahaan sudah melakukan pengumpulan data secara intensif sejak 2017 dengan membuat aplikasi Alfa Gift, yang beberapa bulan lalu sudah bertransformasi ke ekosistem Wizphone. Total pengguna aplikasi saat ini tercatat sekitar 9,8 juta.
Dengan pengumpulan data tersebut, sebutnya, perusahaan telah mampu mengidentifikasi kebutuhan apa dan seberapa besar belanja pengunjung dalam skala waktu tertentu.
Perusahaan juga mampu menyampaikan seberapa besar permintaan suatu produk di suatu daerah, sehingga pemasok bisa lebih efektif dalam memberikan promo langsung kepada pengunjung. Berdasarkan laporan keuangannya, pada kuartal III/2018 perusahaan mencatatkan omzet Rp49,60 triliun, naik 8,77% dari pencapaian periode sama tahun sebelumnya senilai Rp45,60 triliun.
Di sisi lain, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto berpendapat, penggunaan mahadata pada ritel modern memang seharusnya mulai digalakkan.
Pasalnya, penggunaan mahadata akan memperkecil porsi produk mubazir, menciptakan rantai pasok yang lebih efisien, dan memaksimalkan keuntungan perusahaan.
“Mahadata ini dimulai oleh sektor perbankan, dan memang sudah akan merambah ke ritel modern. Banyak sekali keuntungan dari mahadata ini” ujarnya.
Menurutnya, permasalahan mahadata di Indonesia bukan terfokus pada seberapa kuat perusahaan mampu mengumpulkan data sebanyak mungkin, tetapi dari seberapa besar keinginan perusahaan untuk mengadopsi mahadata dalam proses pengambilan keputusannya.
PELAKU DARING
Di sisi lain, penggunaan mahadata tidak kalah penting untuk diaplikasikan oleh para pelaku ritel daring guna memprediksi tren pasar dan mencari peluang untuk ekspansi bisnis.
CEO Office Manager Tokopedia Priscilla Anais menjelaskan, perusahaannya telah menggunakan mahadata untuk memprediksi permintaan pelanggan dan merealisasikan 25% pengiriman barang dalam tempo 1 hari.
Menurutnya, peritel daring membutuhkan mahadata untuk mendapatkan informasi mengenai barang yang sering dipesan dan lokasi pelanggan potensialnya.
Dengan informasi tersebut, perusahaan hanya perlu membangun pusat distrik (district center/DC) di setiap lokasi pelanggan potensial, dan mengirim barangnya secara berkala, sehingga pesanan dapat dijawab tepat pada hari yang sama.
“Jadi, dengan mahadata, kami bisa membuat ‘kantong Doraemon’ bagi pelanggan kami. Mereka minta apa saja, dan kami bisa mendatangkan pada hari yang sama,” katanya.
CEO Blibli Kusumo Martanto sebelumnya mengakui bahwa tantangan utama pelaku dagang-el dalam mengadopsi mahadata adalah infrastruktur dan sumber daya manusia, serta konsistensi dan kedisiplinan pemanfaatan teknologi tersebut.
“Selain itu, investasi terhadap pengolahan data tentu dapat berbenturan dengan prioritas lainnya, terutama bagi pemain kecil. Namun, mengingat imbal hasil yang menjanjikan untuk strategi bisnis yang lebih matang, tidak ada salahnya bila para pemain kecil mulai mempelajarinya.”