Bisnis.com, JAKARTA – Optimisme terhadap prospek pertumbuhan global merosot tajam. Angka pesimisme para pimpinan usaha terhadap pertumbuhan ekonomi global melonjak sekitar enam kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.
Berdasarkan hasil survei tahunan ke-22 yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC) pada Senin (21/1/2019), hampir 30% dari 1.300 CEO di seluruh negara yang disurvei meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi global akan menurun dalam 12 bulan ke depan.
Angka pesimisme tersebut jelas melonjak sekitar enam kali lipat daripada tahun sebelumnya yang hanya mencapai 5%. Hal ini sangat bertolak belakang dengan lompatan rekor optimisme yang dibukukan tahun lalu, yaitu dari angka 29% menjadi 57%.
Di antara beberapa faktor ancaman terbesar terhadap pertumbuhan global adalah konflik perdagangan, ketidakpastian kebijakan, dan proteksionisme.
Menurut Global Chairman PwC Bob Moritz, pandangan para CEO tentang perekonomian global mencerminkan prospek ekonomi di negara-negara besar, yang sedang mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi mereka untuk tahun 2019.
“Dengan memanasnya suhu perdagangan dan meningkatnya proteksionisme, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa optimisme memudar,” tutur Moritz dalam siaran berita yang diterima Bisnis.com, Selasa (22/1/2019).
Kendati demikian, sebanyak 42% CEO masih melihat perbaikan prospek ekonomi, meskipun jumlah ini menurun signifikan dari 57% pada tahun 2018.
Jika melihat regionalnya, kalangan para CEO dari Amerika Utara mencatat pergeseran optimisme paling mencolok menjadi 37% dari angka 63% pada 2018, disusul Timur Tengah yang turun tajam dari 52% menjadi 28%.
Amerika Serikat (AS) yang selama setahun terakhir terlibat konflik perdagangan sengit dengan China mencatatkan penurunan angka optimisme menjadi 39% dari 52%. Adapun angka optimisme di China turun dari 40% pada 2018 menjadi 35% tahun ini.
Di sisi lain, meski mengalami penurunan popularitas dari 46% pada 2018 menjadi 27% tahun ini, AS masih memimpin sebagai pilihan pasar teratas untuk pertumbuhan selama 12 bulan ke depan. Menguntit posisi AS adalah China yang popularitasnya turun menjadi 24% tahun ini.