Bisnis.com, JAKARTA – Kawasan pusat bisnis atau central business district (CBD) yang berdiri di Indonesia memiliki dua pandangan berbeda, yaitu dari mata ahli tata kota, dan dari mata pengembang.
Banyak CBD yang diklaim pengembang, sebenarnya bukan termasuk kategori kawasan pusat bisnis, kendati di kawasan itu banyak gedung-gedung perkantoran, hunian apartemen dan rumah tapak, serta sekolah yang berdiri berdekatan.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga konsep CBD yang benar merupakan suatu komplek pusat kegiatan bisnis yang terdapat dalam satu kawasan dan tidak menyebar. Contoh CBD tersebut adalah di kawasan Sudirman dan Kuningan Jakarta.
“Di Simatupang, Jakarta Selatan sering disebut CBD juga, padahal belum ada kawasan khusus yang bisa disebut CBD,” kata Nirwono kepada Bisnis.com, pekan lalu.
Nirwono menyebutkan bahwa secara tata kota, kawasan CBD berupa kompleks gedung perkantoran lengkap dengan pusat perbelanjaan, penginapan seperti hotel atau apartemen, gedung atau area parkir yang memadai, infrastruktur jalan yang terdapat trotoar dan jalur sepeda, jaringan utilitas terpadu, jaringan Internet dan wi-fi, serta didukung dengan jaringan transportasi massal.
Baca Juga
“Umumnya orang-orang yang menjadi sasaran pembangunan CBD adalah pengusaha dan keluarga usia muda yang sudah mapan,” lanjutnya.
Kawasan yang cocok untuk mendirikan CBD selanjutnya di Jakarta, katanya, antara lain di Kuningan dan Kemayoran yang masih bisa dikembangkan, serta kawasan Blok M dan Senen yang bisa direvitalisasi dan ditata ulang.
Adapun, wilayah lain di luar Jakarta yang bisa dikembangkan menjadi CBD ada di BSD, Tangerang dan Bogor.
Di sisi lain, pengertian CBD menurut pengembang bisa jadi lebih luas. CBD yang dibangun pengembang sudah dirancang dari awal untuk berdiri bersama kota baru dengan tempat yang tidak harus berada di tengah atau pusat suatu kota besar.
“Dalam membangun kota baru, pengembang umumnya selalu memikirkan ada CBD-nya nanti sebagai pusat kegiatan kota baru tersebut,” imbuh Nirwono.
Hal itu juga dibenarkan oleh Direktur sekaligus Kepala Bidang Riset dan Konsultan Savills Anton Sitorus yang mengungkapkan bahwa memang ada perbedaan pengertian CBD secara ilmu tata kota dengan pengertian CBD yang diadaptasi oleh pengembang.
“Pengembang menamakan daerah kawasan komersial mereka sebagai CBD, yang mana di proyek tersebut ukurannya sangat luas, skala besar. Awalnya kebanyakan kan hunian, setelah sektor hunian terbangun, biasanya kan di fase akhir pengembang akan membangun kawasan komersial, yang kemudian dinamakan kawasan CBD, sebenarnya itu strategi branding mereka juga,” ungkap Anton.
Penamaan CBD itu, kata Anton, tidak ada hukumnya. Pengguna sebutan CBD bagi proyeknya jika salah atau tidak sesuai pengertian aslinya tidak akan dihukum.
“Seperti penggunaan istilah trade center atau town square, itu kan tidak ada hukumnya, tidak dipatenkan, kecuali sudah dipatenkan secara bisnis. Ini kan istilah umum yang bebas,” lanjutnya.
Anton menambahkan bahwa lokasi kawasan CBD juga tidak harus 100% baku di tengah kota. Jika dibangun oleh pengembang, kawasan kota baru yang terletak di pinggir pantai atau disebut waterfront city tetap bisa dianggap sebagai CBD di mata pengembang.
Apabila diringkas, istilah CBD menurut ilmu tata kota adalah pusat bisnis yang terletak pusat atau tengah kota. Sedangkan kalau menurut pengembang, CBD merupakan pusat bisnis. Menurut ilmu perkotaan CBD, seperti segitiga emas Jakarta itu merupakan CBD yang berkembang secara alami.
Perkembangan CBD itu beriringan dengan pertumbuhan Jakarta, adanya gedung perkantoran modern, ditambah hotel, mal, apartemen, dan fasilitas memadai lainnya, yang akhirnya dengan sendirinya berkembang menjadi CBD. Sementara itu, kalau yang dibangun oleh pengembang, pembangunan sudah dari awal dirancang akan membuat CBD untuk menunjang kebutuhan penghuninya.
“Jadi antara pusat kota sesungguhnya seperti Jakarta dengan kota yang dibangun pengembang, seperti kota baru, itu beda. Kota baru letaknya kan tidak harus di pusat kota, bisa jadi di luar kota. Isinya juga bukan cuma perkantoran, ada perumahan juga, dan bisa di mana saja,” imbuhnya.
Anton mengungkapkan pembangunan potensial CBD selanjutnya di Jakarta akan ada di Kemayoran. Pasalnya, memang menurut perencanaan kota, kawasan itu memang diproyeksikan menjadi kawasan bisnis.
“Simatupang juga akhirnya bisa dibilang CBD. Proyek yang di luar rencana pemerintah, seperti pembangunan kota baru, yang ada sekarang BSD, Alam Sutera, ada juga Summarecon nanti di Gede Bage, Bandung. Di Makassar dan Surabaya juga bilang ada yang mau mengembangkan CBD juga.”