Bisnis.com, JAKARTA - Defisit neraca berjalan (current account deficit) yang terus menghantui perekonomian Indonesia dan bahkan terburuk dalam 5 tahun terakhir, membutuhkan penanganan yang lebih serius dari pemerintah.
Kondisi kurang menguntungkan perekonomian nasional tersebut disebabkan oleh pendekatan pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran, tidak tepat guna dan tidak terencana secara matang, sehingga yang terjadi malah membebani keuangan negara.
Ekonom Universitas Indonesia Dr.Fithra Faisal Hastiadi mengatakan defisit neraca berjalan yang sudah di atas 3% terhadap GDP, merupakan yang terburuk dalam 5 tahun terakhir. Akibatnya, investor khawatir karena melihat prospek pertumbuhan ekonomi sangat terbatas.
Terjadinya defisit neraca berjalan itu lantaran pertumbuhan impor jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Berarti ada masalah dalam kinerja ekspor. Kenapa itu terjadi karena industrinya tidak berkontribusi signifikan terhadap GDP.
Tren pertumbuhan industri kita masih di bawah level pertumbuhan ekonomi.Saat ini kontribusi sektor industri terhadap GDP tinggal 19%, padahal dulu capai 29%.
"Terjadi deindustrialisasi, inilah yang menyebabkan kinerja ekspor tidak terlalu baik," kata Fithra kepada Bisnis di sela-sela acara Outlook Ekonomi Indonesia 2019 bertemakan "Menuju Ekonomi Indonesia yang Adil dan Makmur" di Media Center Prabowo-Sandi di Jalan Sriwijaya 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (09/01/2019).
Ikut tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut yakni Sudirman Said (Menteri ESDM 2014-2016), Prof.Firmanzah, Ph.D (Rektor Paramadina), Dr.Fithra Faisal Hastiadi (Ekonom UI). Acara diskusi ini dipandu oleh Arie Muftie (tim Sandinomics).
Gross Domestic Product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada kurun waktu tertentu. PDB merupakan salah satu metode dalam penghitungan pendapatan nasional.
Baca Juga
Adapun deindustrialisasi diartikan dengan terjadinya penurunan nilai tambah sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini menilai upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengangkat kinerja industri sudah tepat yakni dengan menggenjot pembangunan infrastruktur.
Namun sayangnya dalam tingkat implementasi, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah kurang tepat sasaran, kurang tepat guna dan tidak terencana dengan matang.
Bank Dunia pun sudah mengkritik pembangunan infrastruktur tidak dilakukan dengan perencanaan matang dan terkesan terburu-buru.
"Seharusnya kan kinerja industri kita ikut terangkat. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semua diisi dengan produk impor. Sampai-sampai dalam proses distribusi barang dan jasa impor, juga menggunakan kapal milik negara lain. Termasuk tenaga kerjanya ikut diimpor juga," katanya.
Dia mengungkap sejumlah negara yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan impor Indonesia yakni China, Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Vietnam.
Sebenarnya menurut Fithra, tidak masalah pemerintah menggenjot impor selagi semua barang dan jasa yang diimpor memang tidak tersedia di dalam negeri.
"Nah di sini tantangannya, bagaimana cara pemerintah meningkatkan kinerja industri dalam negeri menjadi lebih baik sehingga selain bisa memenuhi kebutuhan pasar domestik, juga bisa lebih banyak diekspor," tegasnya.