Bisnis.com, JAKARTA — Gugatan Indonesia kepada Australia dalam kasus sengketa dagang kertas fotokopi A4 bisa menjadi celah untuk mendesak reformasi World Trade Organization (WTO).
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menjelaskan, skema particular market situation (PMS) yang diberlakukan Australia terhadap Indonesia untuk mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) kepada produk kertas fotokopi A4 asal RI menjadi salah satu contoh ambiguitas kesepakatan WTO.
Terlebih, istilah PMS sebenarnya belum terdefinisikan dengan baik dan hanya disebutkan satu kali dalam perjanjian antidumping WTO.
“Tidak ada definisi yang jelas tentang PMS di WTO baik secara kontekstual maupun sejarah perundingan. Makanya, setiap negara bisa memiliki pengertian masing-masing terkait dengan PMS. Ini bisa jadi salah satu masukan perlunya perbaikan di WTO,” katanya, kepada Bisnis.com, Selasa (18/12/2018).
Untuk itu, lanjutnya, upaya Indonesia dalam melawan Australia di WTO atas kasus tersebut diharapkan dapat menjadi momentum dalam membuka mata dunia terhadap sejumlah ambiguitas kesepakatan di WTO.
Dalam upayanya menggugat balik Negeri Kanguru, delegasi merah-putih yang terdiri dari perwakilan Kemendag dan Kementerian Luar Negeri beserta tim kuasa hukum pemerintah bertolak ke kantor WTO di Jenewa, Swiss pada 18—19 Desember 2018.
Delegasi Indonesia menghadiri pertemuan yang difasilitasi oleh WTO untuk merundingkan kasus yang membuat kertas fotokopi A4 asal Indonesia dikenai tarif BMAD yang berkisar antara 12,6%—33% di Australia
Adapun, seperti dikutip dari laman WTO, di pasal I ayat 2 tentang penentuan dumping di Article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, PMS hanya disebutkan satu kali tanpa ada penjelasan secara lebih rinci.
Dalam pasal tersebut disebutkan, ketika tidak ada penjualan produk sejenis dalam perdagangan biasa di pasar domestik negara pengekspor, atau karena disebabkan oleh situasi pasar tertentu (particular market situation/PMS) atau rendahnya volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor, maka tidak akan ada perbandingan harga yang tepat.
Dengan demikian, margin dumping akan ditentukan dengan cara membandingkan dengan harga dari produk sejenis ketika diekspor ke negara ketiga, asalkan harga tersebut mewakili harga kewajaran.
Skema lain dapat dilakukan dengan menghitung biaya produksi dalam negara asal ditambah nilai wajar untuk biaya administrasi, penjualan, dan keuntungan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, tudingan Australia menyebutkan bahwa terdapat situasi PMS di industri kertas Indonesia. Situasi itu menciptakan distorsi harga bubur kertas (pulp) sebagai bahan baku kertas.
Dia melanjutkan, Australia mendasari temuan PMS dengan adanya intervensi Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan-kebijakan di industri kehutanan. Kebijakan itu khususnya soal pelarangan ekspor kayu bulat yang diduga dilakukan untuk subsidi industri kertas dengan membuat pasokan kayu bahan baku kertas melimpah sehingga harganya menjadi rendah.
“Terkait tuduhan Australia, Kemendag telah melakukan sosialisasi kepada stakeholders kayu dan produk kayu mengenai adanya ancaman tuduhan yang sama. Adapun, tuduhan Australia itu merupakan replikasi tuduhan Amerika Serikat [AS].”
Iman melanjutkan, Australia berpandangan kondisi PMS ini mengizinkan otoritas penyidik untuk menggantikan data biaya produksi dan penjualan produsen/eksportir dengan tolok ukur harga dari luar negeri. Dengan demikian, harga di dalam negeri akan melambung dan menyebabkan terbentuknya margin dumping yang merupakan perbandingan antara harga domestik dengan harga ekspor.
Selain itu, lanjutnya, Australia menilaiotoritas penyidik dapat tidak mengenakan aturan pengenaan tingkat bea masuk antidumping dengan besaran yang lebih kecil dari margin dumping yang ada, sepanjang besaran tersebut dianggap proporsional untuk memulihkan kerugian industri domestik sebagai akibat impor produk dumping.
BUTUH PEMBARUAN
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno menjelaskan, kesepakatan di WTO harus segera direformasi. Pasalnya, kesepakatan tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan situasi perdagangan global saat ini.
“Sejauh ini bias sikap WTO ke Negara Barat atau [negara] besar sangat tinggi. Perlu ada tekanan dan dorongan dari negara-negara anggota untuk menuntut perubahan kesepakatan yang lebih komprehensif dan adil. Maka dari itu, upaya Indonesia mempertanyakan PMS dan gugatan Australia ini bisa jadi momentum,” katanya.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, Indonesia harus menggalang dukungan yang besar dari negara lain untuk membahas mengenai PMS dan penggunaannya dalam kasus sengketa ekspor kertas fotokopi A4 dengan Australia. Pasalnya, jika hanya Indonesia saja yang menyuarakan hal tersebut, maka akan sulit untuk mendapatkan perhatian yang besar.
“Lagipula, kita lebih sering kalah dalam persidangan sengketa dagang di WTO padahal posisi kita sering kali sudah benar. Untuk itu, dukungan dari negara lain—terutama negara maju atau besar —akan sangat bermanfaat bagi daya tawar Indonesia di kasus sengketa kertas A4 ini,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Brastasida berpendapat, kebijakan pengenaan BMAD kepada kertas fotokopi A4 oleh Australia tersebut tidak memiliki dasar kuat. Untuk itu, dia meminta pemerintah berusaha keras memenangkan gugatan balik ke Australia.
“Langkah Australia ini jika tidak dihentikan, bakal diikuti oleh negara lain. Padahal, potensi industri kertas—terutama kertas fotokopi A4—di Indonesia sangat besar,” ujarnya.
Berdasarkan data Kemendag, ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia pada periode 2013—2017 tumbuh 23,22%. Sepanjang periode tersebut, nilai ekspor tertinggi komoditas itu dicapai pada 2016 yaitu senilai US$34,34 juta.
Namun, sejak dikenakan BMAD oleh Australia pada 20 April 2017, ekspor kertas fotokopi A4 dari Indonesia ke Australia anjlok 42,56% secara year on year (yoy) menjadi US$19,7 juta. Penurunan ini juga terlihat pada ekspor periode Januari—September 2018 yang turun sebesar 36,80% secara yoy menjadi US$9,47 juta.
Ekspor Produk Kertas (US$ miliar)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Nov 2017 Nov 2018 Perubahan(%) Jan—Nov 2017 Jan—Nov 2018 Perubahan(%)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Industri kertas dan barang kertas 0,65 0,50 -22,99 5,76 6,73 16,78
Bubur kertas(pulp) 0,27 0,13 -49,11 2,15 2,45 14,25
Kertas khusus 0,03 0,02 -27,58 0,32 0,30 -5,67
Kertas tissue 0,06 0,08 21,98 0,69 0,84 21,47
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber: BPS 2018
Ekspor Produk Kertas A4 HS Code (480256) ke Australia
-----------------------------------------------------------------------------
2016 2017 Jan—Jun 2018
-----------------------------------------------------------------------------
Nilai (US$ juta) 33,33 19,72 6,13
Volume (ribu ton) 46,82 28,63 6,72
-----------------------------------------------------------------------------
Sumber: APKI 2018