Bisnis.com, JAKARTA -- Sudah sejak 2013, produk mainan anak—baik lokal maupun impor—diwajibkan untuk memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI).
SNI sendiri merupakan sebuah sertifikasi yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk menjamin kualitas barang dan produk yang beredar di Indonesia.
Adapun, kewajiban SNI produk mainan merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian No. 24/M-IND/PER/4/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Mainan Secara Wajib, dengan perbaikan pertama di Peraturan Menteri Perindustrian No. 55/M-Ind/PER/11/2013 dan perbaikan kedua di Peraturan Menteri Perindustrian No. 111/M-Ind/PER/12/2015.
Selain untuk mencegah bahaya yang bisa muncul dari sebuah produk, misalnya cedera fisik atau keracunan, SNI diterapkan agar produk lokal memiliki kualitas yang dapat bersaing dengan produk luar negeri.
Kepala Biro Hukum, Organisasi dan Humas BSN Iryana Margahayu mengatakan, saat ini pelaku industri mainan domestik yang sudah memenuhi kewajiaban SNI telah mencapai 131 perusahaan dan 766 merek.
“Untuk ber-SNI, perusahaan harus memiliki sistem manajemen, sistem produksi, dan harus dibuktikan bahwa produk yang dihasilkan layak dan berkualitas,” ujarnya, Rabu (12/12/2018).
Salah satu perusahaan produksi mainan yang sudah menerapkan SNI adalah PT Sinar Harapan Plastik.
Direktur Utama PT Sinar Harapan Plastik (SHP) Hary Tio menuturkan, SNI menjadi bukti bahwa perusahaan mainan memiliki kualitas yang baik sehingga produknya dapat diterima oleh masyarakat.
“Mainan ini di dunia usaha sering ada yang bilang, ‘kualitasnya seperti ini, seperti itu’, sehingga kami buat sebuah sistem dan kami daftarkan SNI untuk produk kami sejak 2014.”
Penerapan SNI ini tentu berdampak besar bagi industri mainan Tanah Air dari segi produktivitas. Pasalnya, barang-barang impor yang tak ber-SNI tak boleh lagi beredar di pasaran sehingga membuat produk lokal bisa bersaing.
Sebagai gambaran, sebelum memiliki SNI, pada 2013, perusahaan mampu memproduksi 269.304 dus mainan yang masing-masing berisi dua hingga empat item produk mainan.
Lalu, pada 2017, setelah 3 tahun menerapkan SNI, perusahaan mampu memproduksi mainan sebanyak 461.161 dus.
Tahun ini sendiri, perusahaan yang berdiri sejak 2008 itu diperkirakan mampu meningkatkan jumlah produksinya sebesar 14% dari realisasi tahun lalu.
“Kami produksi mainan sesuai dengan permintaan yang masuk. Ada PO [preorder] masuk baru kami produksi mainan. Sejak ber-SNI, produksi mainan selalu meningkat. Kapasitas pabrik kami bisa memproduksi 2.000 unit per hari, ini belum dioptimalkan,” ucap Hery.
Dengan memiliki SNI, lanjutnya, setiap tahunnya perusahaan pemegang lisensi SHP Toys dan Winny Will tersebut selalu memenangkan penghargaan SNI award sejak 2015. Perseroan pun dapat bersaing secara harga dan kualitas dengan produk mainan impor.
Produk yang dibuat oleh perusahaan ini berupa mobil-mobilan dan sepeda mainan tunggangg yang bahan bakunya berupa plastik.
Tak semua bahan bakunya berasal dari Tanah Air. Sebesar 50% masih berupa impor bijih plastik dari Arab Saudi, Boroge LTD (Aramco), dan juga wilayah Asean.
“Impor bijih plastik kami lakukan karena lokal enggak bisa memenuhi semuanya dan juga harganya susah. Supplier kami hanya satu sehingga memang perlu ada yang lain. Dengan impor, harganya fluktuatif dan bisa subsidi silang untuk menurunkan harga supaya bisa bersaing,” tutur Hery.
Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas berpendapat, hingga kini masih banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang belum mendaftarkan produk mereka memiliki SNI. Produk jualan milik UKM yang belum ber-SNI menjadi sulit bersaing dengan produk mainan dari pengusaha menengah besar maupun impor.
“Perajin rumah mainan masih banyak yang belum ber-SNI. Jadi, ini adalah tugas bersama, bagaimana pelaku UKM ini memiliki SNI juga.”
Pasar produk mainan lokal di Indonesia cukup besar. Terlebih, setiap tahunnya angka kelahiran sebanyak 4,5 juta jiwa dan angka ini merefleksikan pangsa pasar yang besar bagi produsen mainan baik importir asing maupun produsen lokal. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan khusus dari pemerintah untuk menata regulasi.
“Selama ini ada inspeksi mendadak [sidak] yang dilakukan petugas Kementerian Perdagangan terkait dengan standardisasi mainan yang telah ditetapkan,” katanya.
Menurut Sutjiadi, berlabel SNI merupakan sebuah cara untuk menekan peredaran mainan ilegal dari luar negeri. Konsumen juga saat ini pintar dalam memilih dan membeli produk yang memiliki SNI.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, saat ini jumlah unit usaha mainan berskala kecil sebanyak 142 unit dan berskala menengah dan besar sebanyak 93 unit.
Tak hanya perusahaan lokal yang dituntut memasarkan produknya harus ber-SNI, toko ritel mainan pun mau tak mau harus menjual produk mainan yang memiliki label ini.
Wiwin, Manager Toko Wi—yang menjajakan mainan di wilayah Asemka—menuturkan, semua produk yang dijualnya memiliki label SNI.
“Sekarang harus ber-SNI, karena ada razia dari polisi dan kalau tidak ber-SNI ya kena. Lagipula, barang mainan di sini dikirim ke luar kota. Para pelanggan di luar kota juga enggak mau terima kalau enggak ada SNI-nya,” tuturnya.