Bisnis.com, JAKARTA – Dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, pemerintah memandang perlu menerapkan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS).
Untuk mendukung tujuan itu, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang telah ditetapkan pada 21 Juni 2018 sebagai tidak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.
Keputusan itu dilandasi kenyataan di lapangan, dimana kinerja penyelenggaraan pelayanan perizinan bagi dunia usaha masih belum sesuai harapan.
Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari pelaku usaha, baik melalui surat pembaca maupun melalui media pengaduan lainnya. Misalnya menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, kurang konsisten, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan, sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu dan biaya) serta masih banyak dijumpai praktik pungutan liar serta berbagai praktik yang berindikasi penyimpangan dan KKN.
Karena itu, peraturan pemerintah ini diharapkan akan dapat mendorong perbaikan kinerja birokrasi, khususnya di bidang pelayanan perizinan usaha yang akan mempunyai implikasi luas, terutama terhadap kehidupan ekonomi dan politik serta tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Selain itu untuk menepis pandangan investor domestik maupun asing yang berkembang selama ini “bahwa dibutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tinggi untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia”
Namun, pelaku usaha menilai peraturan pemerintah ini masih menyisakan sejumlah permasalahan. Pertama, beberapa perizinan sektor yang dialihkan pada lembaga OSS masih merupakan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Hal ini dikhawatirkan, justru menimbulkan ketidakpastiaan baru, baik di bidang hukum maupun waktu.
Kedua, OSS sebagai lembaga penyelenggara perizinan penanaman modal juga berbenturan dengan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang mengamanatkan penyelenggaraan perizinan penanaman modal dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Ketiga, berdasarkan Pasal 52 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, syarat sahnya keputusan antara lain meliputi penetapan oleh pejabat yang berwenang.
Untuk diketahui, perizinan OSS saat ini hanya memiliki QR Code tanpa adanya digital signature, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat legal formal. Sementara, berdasarkan pengamatan penulis, sejauh ini sistem perizinan OSS belum bisa tersambung dengan sistem perizinan PTSP di daerah.
Masalah tersebut tentunya akan menyulitkan daerah untuk menyatukan proses perizinannya pada sistem OSS. Terlebih bagi pengusaha yang harus mengurus izin lain seperti izin yang berada pada kementerian dan lembaga terkait, juga belum terintegrasi dengan baik.
Beberapa anggota juga melaporkan tentang betapa sulitnya pengurusan izin Upaya Pengelolan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL), izin Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3 dan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) untuk cabang perusahaan.
Belum lagi, setiap ada permasalahan di daerah tidak bisa memberi solusi, sehingga semua permasalahan dilempar ke pusat, sedangkan di pusat jumlah antreannya tidak sedikit. Mestinya Satgas Kemudahan Berusaha di tingkat daerah bisa berperan aktif mengawal sistem OSS ini.
Masalah lain adalah cara pemenuhan komitmen yang belum jelas. Misalnya, masalah fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) yang izinya sudah didapat, bagaimana cara pemenuhan komitmenya belum diperjelas, harus kemana dan bagaimana.
Keterbaruan data Administrasi Hukum Umum (AHU) dan OSS tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) mutlak juga harus dilakukan untuk menghindari agar tidak ada KBLI yang belum terdaftar di OSS.
Begitu pula halnya bila ada merger atau akuisisi, dimana direktur yang lama (yang diregister di OSS) diganti dengan direktur yang baru, apakah Nomor Induk Berusaha (NIB) harus diganti yang baru, bagimana dengan perizinan yang sudah dibuat sebelumya ?
Dari beberapa permasalahan tersebut, paling tidak ada dua masalah yang timbul pasca pemberlakuan OSS. Pertama, sistem OSS belum sepenuhnya siap digunakan, terkesan terburu buru dan dipaksakan.
Kedua, adanya masalah perizinan yang masih terkendala di daerah, sehingga diperlukan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah serta harmonisasi peraturan perundangan tentang perizinan berusaha.
Dengan demikian, apapun kondisinya hal ini telah menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya dengan serius untuk memudahkan sistem pelayanan pengurusan perizinan berusaha menjadi lebih efisien dan terintegrasi.
Untuk itu beberapa upaya di masa depan yang perlu ditempuh misalnya, pertama, sosialisasi OSS harus dilakukan secara terus menerus, karena masih banyak dari pengguna OSS yang kurang memahami mekanisme dari sistem tersebut.
Kedua, pendampingan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) bagi pelaku usaha yang mengajukan pengurusan perizinan, serta penguatan Satgas Kemudahan Berusaha di tingkat daerah.
Ketiga, reformasi peraturan perizinan berusaha di mana baik pemerintah pusat maupun daerah wajib melakukan evaluasi atas seluruh dasar hukum pelaksanaan proses perizinan berusaha yang berlaku pada saat ini.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, masing-masing melakukan penyederhanaan pengaturan perizinan berusaha melalui penerbitan peraturan pengganti yang memuat secara jelas mengenai tata cara perizinan dengan mengacu pada sistem OSS.
Pada akhirnya, Indonesia memang memerlukan penyerderhanaan banyak regulasi atau bahkan penghapusan regulasi bermasalah yang membebani dunia usaha untuk mendukung pengembangan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Hal tersebut tentunya juga sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan sebuah iklim investasi yang sehat dan berdaya saing, karena hanya dengan investasi swasta yang tumbuh, lapangan pekerjaan dapat berkembang dan pengangguran serta kemiskinan dapat dikurangi secara berkelanjutan
Di sisi lain asosiasi asosiasi dunia usaha bisa mengambil peran penting dengan cara memberi masukan kepada pemerintah mengenai regulasi yang menghambat aktifitas bisnis, mempersulit pengembangan dunia usaha dan menghambat pendirian usaha baru, serta aktif dalam melakukan advokasi untuk reformasi regulasi.
Harapannya, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya di dunia internasional dan menjadi pemain utama dalam berbagai macam industri.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (12/12/2018)