Bisnis.com, JAKARTA—Meski pemerintah sudah merilis Paket Kebijakan Ekonomi XVI pada kuartal IV/2018, dampaknya terhadap perbaikan defisit neraca transaksi berjalan diyakini masih membutuhkan waktu cukup panjang.
Adapun, paket kebijakan yang dimaksud yakni perluasan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pemberian insentif perpajakan bagi devisa hasil ekspor (DHE) industri berbasis sumber daya alam.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyebut situasi defisit neraca transaksi berjalan sudah dialami Indonesia sejak krisis moneter 1998.
Dia merinci Indonesia mengalami kondisi fluktuasi neraca transaksi berjalan cukup lama sehingga membutuhkan waktu yang tidak pendek untuk memperbaiki kondisi itu.
“Kita umumkan ini sifatnya secara lebih formal, tujuan jangka menengah panjang, ada di dalamnya unsur jangka pendek memperkuat confidence pemilik dana supaya capital inflow masuk. Namanya transaksi berjalan bukan sesuatu dalam satu dua triwulan selesai karena umur transaksi perdagangan walau ada selang-seling [defisit dan surplus secara bergantian] setahun setelah krisis 1998,” jelasnya di Kantor Kepresidenan, Jumat (16/11/2018).
Bank Indonesia mencatat defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit /CAD) pada kuartal III/2018 senilai US$8,8 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto. Angka tersebut meningkat dari realisasi defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal yang sama pada tahun lalu.
Untuk menangkal pelebaran defisit neraca transaksi berjalan, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate dari 5,75% menjadi 6%. Dalam setahun terakhir, BI tercatat sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin.
“Sekarang komulatifnya di bawah 3% [defisit neraca transaksi berjalan]. Sekarang [kuartal III/2018] sekitar 2,86%. Pokoknya jangan tembus 3%, 2,5% di akhir 2019,” tekan Darmin.