Upaya Kementerian Perhubungan mengatasi truk overdimension dan overload (ODOL) nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di kalangan pengusaha truk masih ada persepsi bahwa Kemenhub tidak serius memberantas ODOL.
Bagi pengusaha truk, memuat barang berlebih memang dilematis. Pengusaha truk terpaksa melakukan pelanggaran karena tuntutan pemilik barang, di sisi lain pengusaha truk tak bisa menolak karena khawatir pemilik barang mencari truk lain.
Pada akhirnya, tidak sedikit pengusaha truk yang menambah panjang dimensi ukuran truknya (overdimension). Bahkan, tak jarang truk yang dipesan dari karoseri sudah overdimension.
Contoh overdimension adalah ketika truk boks tronton seharusnya memiliki tinggi 2.850 mm, tetapi setelah diukur menjadi 3.200 mm.
Dalam catatan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. sekitar 110.000 unit kendaraan besar melintas di ruas jalan tol Jakarta—Cikampek setiap hari. Sekitar 63% kecelakaan yang terjadi sepanjang tahun lalu melibatkan kendaraan angkutan barang.
Belakangan mulai muncul kesadaran dari pengusaha truk untuk mendukung pemerintah dalam penertiban angkutan barang. Mereka mulai mengembalikan lagi kendaraannya ke keadaan semula.
Pekan lalu, gerakan itu muncul di Provinsi Riau ketika 25 unit truk milik tujuh pengusaha yang tergabung dalam DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Riau menormalkan truk mereka.
Aptrindo Riau bersinergi dengan Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah IV Riau dalam upaya tersebut.
Hasilnya, pujian pun datang dari Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi karena paling cepat merespons soal penertiban ODOL.
Selain Riau, Provinsi Jawa Timur juga ikut dalam mengembalikan dimensi truk. Setidaknya sudah ada 100 unit truk overdimension yang memotong sumbu, bak dan bumper.
Dampak positif mengembalikan dimensi truk adalah armada angkutan barang lebih awet dan otomatis jumlah ritase atau penghitungan sewa truk akan lebih banyak.
Dampak negatifnya adalah tidak sedikit pemilik barang yang mencari truk lain yang masih melanggar ODOL guna menghemat biaya. Pemilik barang bisa menghemat biaya logistik hingga 42% jika menggunakan satu truk ODOL daripada harus menggunakan dua unit truk.
DPP Aptrindo memang telah meneken komitmen anti-ODOL bersama Kemenhub beberapa waktu lalu. Dalam perjalanannya tidak semua pengusaha truk setuju mengingat salah satu faktor yang memberatkan yaitu terkait overdimension.
Normalisasi kendaraan dinilai memberatkan karena menambah beban biaya bagi pengusaha truk padahal kendaraan tersebut sudah dalam keadaan demikian ketika saat pembelian. Biaya normalisasi truk setidaknya mencapai Rp15 juta per unit.
DPP Aptrindo terus mengingatkan anggotanya bahwa over-dimensi sebenarnya merugikan. Aptrindo juga terus mendorong agar perwakilannya di daerah melakukan kaloborasi dengan BPTD setempat untuk normalisasi truk.
Persoalan sebenarnya adalah tertuju bagi kalangan pengusaha truk yang tidak tergabung dalam asosiasi. Kemungkinan besar mereka acuh terhadap aturan ODOL. Di sini, peran pemerintah dalam merangkul pengusaha nonasosiasi sangat mutlak dilakukan.
Apalagi tidak semua pengusaha mampu membeli armada tambahan di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS menjadi dasar kalangan pengusaha menahan pembelian armada.
Demi memupuk kesadaran pengusaha truk agar mau menormalkan armadanya perlu terus disosialisikan pemerintah. Sejauh ini, penertiban truk ODOL masih belum gencar dilakukan di daerah.
Solusi lain bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan mengunjungi langsung kantong parkir truk agar tidak dibilang main-main dalam penertiban ODOL. Apalagi, Kemenhub menargetkan permasalahan ODOL dapat terurai pada tahun depan.
Penertiban secara langsung tersebut jangan sampai menimbulkan polemik. Kemenhub harus berhati-hati dan jangan sampai mengganggu keberlangsungan usaha pengusaha truk.
Lebih baik, Kemenhub merangkul dahulu pengusaha truk dengan cara persuasif. Bagaimana pun usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.