Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LOGISTIKOS : Menagih Keseriusan Asas Beyond Cabotage

Berandai-andai kapan asas Beyond Cabotage benar-benar berjalan, tak pernah menemui ujungnya.
Ilustrasi - Kapal Logistik Nusantara 4 yang melayani tol laut menurunkan kontainer muatannya saat bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (28/6/2018)./JIBI-Paulus Tandi Bone
Ilustrasi - Kapal Logistik Nusantara 4 yang melayani tol laut menurunkan kontainer muatannya saat bersandar di dermaga Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (28/6/2018)./JIBI-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA - Berandai-andai kapan asas Beyond Cabotage benar-benar berjalan, tak pernah menemui ujungnya. Asas ini sesungguhnya mewajibkan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional dengan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Sejak diterapkan mulai 2005, Asas Cabotage berdampak positif terhadap pelayaran nasional, yang ditunjukkan oleh lonjakan ju­mlah armada nasional hingga nya­ris 300% dan lompatan ka­pa­sitas angkut kapal dalam ne­geri hampir 600% dalam satu dasawarsa.

Merespons keberhasilan itu beberapa pihak menginginkan langkah yang lebih progresif yaitu mewajibkan angkutan ekspor komoditas tertentu menggunakan kapal Indonesia sebagai representasi asas Beyond Cabotage.

Penerapan Beyond Cabotage sudah direncanakan sejak lama sampai akhirnya muncul Peraturan Menteri Perdagangan No. 82/2017 yang mewajibkan penggunaan kapal nasional untuk ekspor CPO dan batu bara, serta impor beras, mulai 1 Mei 2018.

Namun, Peraturan Menteri Per­dagangan No. 48/2018 menunda pe­nerapan hingga 1 Mei 2020 karena keberatan dan masukan eksportir, serta ketidaksiapan pelayaran Merah Putih menyediakan armada.

Dengan volume ekspor CPO yang rata-rata 30 juta ton per tahun, masih terselip pertanyaan tentang kapasitas kapal nasional. Dari sisi teknis, masalah penggunaan kapal asing hanyalah bagian dari kontrak jual beli antara eksportir dan importir, apakah kapal pengangkut menjadi tanggung jawab penjual (cost, insurance, freight/CIF) atau menjadi tanggung jawab pembeli (free on board/FOB). Dalam perdagangan CPO Indonesia ke luar negeri, term of delivery yang dipakai sebagian besar FOB.

Dari sisi makroekonomi, penggunaan kapal asing --konsekuensi penggunaan term FOB-- membebani transaksi berjalan. Dari defisit transaksi berjalan 2018 senilai US$31 miliar, hampir US$9 miliar di antaranya disumbang oleh defisit jasa transportasi. Impor jasa transportasi barang alias penggunaan jasa kapal kargo asing mencapai US$8,5 miliar pada 2018, naik dari tahun sebe­lumnya yang hanya US$6,9 miliar.

Publik tahu, pelebaran defisit transaksi berjalan kerap ‘dihukum’ oleh investor dengan menarik dana mereka dari pasar modal Indonesia. IHSG memerah, harga obligasi turun, rupiah jatuh.

Ada kebijakan yang menggelitik pada 5 tahun silam. Menteri Keuangan saat itu M. Chatib Basri mengeluarkan aturan mengenai penggunaan Incoterm CIF atas permintaan Kementerian Perdagangan.

Namun, beleid dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan No. 41/PMK.04/2014 itu sekadar mewajibkan eksportir memasukkan nilai premi asuransi dan freight ke dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB). Secara riil, eksportir masih leluasa menggunakan term FOB.

Milenial mungkin menyebut PMK 41 sebagai regulasi ‘lucu-lucuan’, tetapi barangkali ini tetap kita apresiasi sebagai awal untuk meng­­hitung potensi bisnis jasa ang­kutan laut dan asuransi yang bisa direngkuh oleh perusahaan nasional.

Aturan itu diterbitkan tepat setahun setelah Menteri Perdagangan Gita Wirjawan meneken nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah asosiasi pelaku usaha mengenai rencana aksi penggunaan CIF dalam kegiatan ekspor untuk membalik kondisi mapan bertahun-tahun bahwa 80% volume ekspor kita masih diserahkan dalam term FOB. MoU itu berisi rencana aksi agar permasalahan di sektor jasa terkait kegiatan ekspor impor ditangani serius.

Hari ini, kita masih mem­bica­rakan hal yang sama. Peta jalan menuju pelaksanaan kewajiban peng­gunaan angkutan laut nasio­nal untuk ekspor CPO dan batu bara, serta impor beras, belum kelihatan bentuknya. Padahal, mandatori berlaku setahun lagi.

Kendati demikian, kebijakan pemerintah menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 0% bagi jasa pengurusan transportasi terkait barang untuk tujuan ekspor perlu diapresiasi. Insentif fiskal yang sudah lama diidam-idamkan ini menempatkan pelayaran nasional yang mempunyai rute ocean going pada level kompetisi yang sama dengan asing. Kini, usaha lainnya terus ditunggu.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sri Mas Sari
Sumber : Bisnis Indonesia
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper