Bisnis.com, JAKARTA — Rezim kebijakan migas menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split) menjadi salah satu pertimbangan investor yang ragu untuk masuk melelang blok eksplorasi nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa mengatakan, banyaknya WK eksplorasi yang ditawarkan pemerintah dan tidak laku menunjukkan ada skema yang tidak menarik untuk investor. Pemerintah, menurutnya, perlu menganalisa mengapa lelang blok migas tidak menarik bagi investor.
“SKK Migas bilang Gross Split bukan penyebab, tapi harus diakui itu menjadi salah satu tantangan untuk WK eksplorasi. Kalau untuk WK produksi memang tidak, karena sudah ada hitungannya,” katanya, kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Sejauh ini, sudah ada 30 WK migas yang menggunakan gross split. Sebanyak 11 WK merupakan hasil lelang tahun 2017 dan 2018. Untuk hasil lelang 2017 yakni WK Andaman I, Andaman II, Merak Lampung, Pekawai dan West Yamdena. Sedangkan hasil lelang tahun 2018 adalah WK Citarum, East Ganal, East Seram, Southeast Jambi, South Jambi B serta Banyumas.
Sementara itu, 19 WK lainnya merupakan WK terminasi yang masa kontraknya berakhir mulai 2017 hingga 2022.
Febby menambahkan menjelang tahun politik, sikap investor yang memilih wait and see akan terlihat setidaknya hingga April 2019. “Investasi migas itu berisiko, tentu mereka berhitung,” katanya.
Terpisah, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan sulit mengatakan bahwa gross split menjadi masalah untuk pengelolaan blok eksplorasi. Pasalnya, hingga kini sudah ada 2 blok migas eksplorasi yang dilelang pada 2018 laku dilelang pemerintah.
“Bisnis migas itu memang berisiko. Ya dihitung, kan udah ada data awalnya, kalau ga dari situ, mengandalkan dari dana pemerintah tidak cukup,” katanya.
Menurutnya, pengelola blok eksplorasi menggunakan dana komitmen kerja pasti untuk mengelola area terbuka. Menurutnya, KKP memiliki tahapan panjang, mulai dari penemuan eksplorasi ataupun penggunaan untuk EOR.
“Eksplorasi itu memabg berisiko, karena kemungkinannya kurang dari 20%. Jadi uang pengganti itu harapan. Tapi bahwa kita harus melakukan eksplorasi, [karena] kalau tanpa itu kita tidak dapat apa-apa,” katanya.