Bisnis.com, JAKARTA—Bank Sentral Jepang (BOJ) diperkirakan tetap menahan kebijakan moneter pada Rapat Kebijakan pekan ini kendati perkiraan bahwa bank sentral akan menggunakan fleksibiitas yield sebagai perangkat pengetatan mulai bermunculan.
Hal itu disampaikan oleh analis yang disurvei Bloomberg, sekitar 46 analis yang disurvei memperkirakan tidak ada perubahan kebijakan moneter dalam rapat kebijakan selama dua hari yang berakhir pada Rabu (31/10/2018) tersebut.
Sebanyak 63% dari analis juga memperkirakan, pengumuman tingkat inflasi “tidak akan banyak berubah” dalam rilis outlook kuartalan yang diterbitkan bersamaan dengan pernyataan kebijakan bank sentral. Sementara itu, hanya 33% yang memperkirakan bakal ada sedikit penurunan (downgrade) outlook.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari 90% analis tidak memperkirakan bahwa BOJ akan mengambil langkah ekstra untuk menopang perekonomian ketika pajak penjualan dinaikkan pada tahun depan.
Sebagian besar analis menilai, BOJ akan mengetatkan kebijakannya dalam satu tahun sejak pajak dinaikkan pada Oktober 2019.
Adapun sebagian besar ekonom memperkirakan langkah pertama pengetatan dari BOJ adalah dengan menaikkan tingkat yield obligasi bertenor 10 tahun.
Selain itu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa analis memperkirakan BOJ akan lebih memperlebar kisaran pergerakan target yield jangka panjang sebagai langkah pengetatan pada akhir 2020.
“Beberapa pejabat bank sentral telah melihat kisaran pergerakan yang diizinkan dalam yield, yang lebih lebar daripada yang diperkirakan pelaku pasar,” kata seorang sumber yang mengerti jalannya diskusi, seperti dikutip Bloomberg, Senin (29/10/2018).
Adapun sejauh ini, BOJ menahan yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun di sekitar 0% dengan tujuan menstimulasikan pertumbuhan harga (inflasi) dalam perekonomian sambil mengendalikan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang.
Pada rapat kebijakan Juli, BOJ pun mengizinkan pergerakan kisaran yield melebar di sekitar nol karena bank sentral ingin meninjau dan mengurangi efek samping dari program pelonggaran stimulusnya, yang telah mengganggu kinerja pasar dan perusahaan keuangan.
Sekitar setengah dari ekonom juga melihat BOJ berpeluang menaikkan suku bunga negatifnya pada 2020, atau naik dari hanya sepertiga ekonom pada survei sebelumnya. Adapun BOJ memberlakukan suku bunga tersebut ke dalam beberapa neraca perbankan komersial yang dipegang BOJ untuk mengendalikan tingkat suku bunga jangka pendek.
Survei tersebut juga memperlihatkan, setelah mencerna pengumuman BOJ pada Rapat Kebjakan Juli. sebagian besar ekonom menaikkan perkiraannya untuk awal pengetatan moneter BOJ yaitu akan dilakukan pada akhir 2020
Sementara itu, BOJ yang tidak akan mengambil langkah ekstra untuk menopang perekonomian saat pajak penjualan dinaikkan, atau sesuai dengan pandangan umum ekonom, menunjukkan bahwa dampak kenaikan pajak kali ini akan lebih halus dibandingkan pada 2014.
Saat itu, enam bulan setelah pajak dinaikkan, BOJ harus menambah stimulusnya karena konsumsi domestik melemah.
Adapun PM Jepang Shinzo Abe telah mengonfirmasi bahwa dia akan terus dengan rencananya untuk menaikkan pajak penjualan menjadi 10%, dari sebelumnya 8%. Adapun bahan makanan telah dikecualikan dari kenaikan pajak dan Abe tengah berupaya mencari langkah tambahan untuk menopang sisi permintaan.