Tiga tahun silam, saya bersama beberapa kolega berkesempatan ‘singgah’ dan diskusi di kantor pusat Alibaba, di Hangzhou, China. Tak lama, barang 2 jam, kami mampir ke kantor perusahaan e-commerce yang terkenal itu.
Kami tidak bertemu langsung dengan Jack Ma, sang taipan pemilik Alibaba, saat kunjungan yang hanya sebentar itu. Meski begitu, saya merasakan impresi lumayan.
Kantor Alibaba memang didesain kekinian. Simplicity. Tetapi saya merasakan kesan homey. Kebetulan, di samping kantor Alibaba, ada rumah tinggal Jack Ma yang luas dengan arsitektur khas China.
Di ruang pertemuan, dari dashboard yang terpampang di layar besar, keseluruhan aktivitas transaksi melalui platform perusahaan perdagangan elektronik itu dapat dimonitor secara real time.
Saya bisa melihat geliat perdagangan dari menit ke menit, bahkan detik ke detik yang begitu dinamis. Lokasi transaksi bukan hanya di China, melainkan dari seluruh dunia.
Cukup deh cerita itu saja, karena tak boleh lebih. Kami juga tak boleh memotret layar monitor tersebut. Intinya, perkembangan transaksi dagang secara digital memang luar biasa.
Dan, itu tidak cuma menggeret pertumbuhan perusahaan itu sendiri, tetapi juga mendorong perubahan ekonomi. Tidak hanya mikro, tetapi juga makro.
Maka, istilah shifting yang populer beberapa tahun terakhir, bukanlah omong kosong. Dunia berubah karena perkembangan teknologi, utamanya internet.
Dan karenanya bisnis berubah. Bahkan, saya yakin betul, ekonomi juga berubah. Kalau belakangan ini muncul persoalan pelik soal defisit transaksi berjalan, saya kok curiga, salah satu sumbernya adalah perubahan ekonomi yang didorong oleh revolusi digital.
Namun, belum ada jawaban yang memuaskan saat ditanyakan kepada para ekonom dan pembuat kebijakan. Jawabannya klasik: Belum ada data yang meyakinkan.
***
Pekan lalu, Jumat (12/10), saya duduk di kursi baris ketiga, mendengarkan talkshow dengan Jack Ma, di auditorium Bali International Conference Center, Nusa Dua.
Talkshow itu adalah sesi sampingan dari perhelatan Sidang Tahunan IMF-Bank Dunia, yang baru saja berlangsung di Bali, 8-14 Oktober lalu. Jack Ma disebut-sebut terbang langsung dengan private jet dari China ke Bali. Kendati begitu, hanya sekitar 24 menit founder Alibaba itu bicara.
Talkshow tersebut dipandu langsung oleh Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim. Temanya berat: Disrupting Development - How Digital Platform and Innovation are Changing the Future of Developing Nations.
Meski membahas topik berat, aula utama BICC di kompleks Hotel Westin itu dipenuhi peserta. Sejam sebelumnya, seluruh kursi sudah terisi.
Bahkan, sebelum Jack Ma bersama Presiden Bank Dunia Kim memasuki ruangan, sudah banyak peserta tak kebagian tempat duduk. Mereka rela berdiri.
Mereka adalah para pengusaha, eksekutif puncak perusahaan, para bankir, sejumlah mantan pejabat dan anggota kabinet, para peserta sidang tahunan IMF-Bank Dunia, serta para pegiat ekonomi, sosial dan politik dari Indonesia.
Kalau saja Jack Ma bukan inovator dan founder Alibaba, mungkin isi bicaranya biasa-biasa saja. Namun, dalam konteks pembangunan di negara berkembang dewasa ini, termasuk Indonesia, pesan Jack Ma begitu kuat. Dan, relevan.
Ini tentu bukan sekadar tentang Alibaba. Memang ada kisah bagaimana memulai Alibaba dari tiada, lalu berkembang sukses di China dan dunia.
Akan tetapi, saya justru ingin menarik garis, bahwa pesan Jack Ma relevan dengan kepentingan negara berkembang dalam menyiasati perkembangan teknologi dan revolusi digital dewasa ini.
Proses disrupsi, meski Jack Ma tidak secara persis menggunakan istilah itu, akan mengubah cara kerja manusia dalam tiga dekade ke depan. Ini salah satu shifting akibat perkembangan teknologi.
Jack Ma memberikan proyeksi, untuk kurun waktu 30 tahun yang akan datang, tenaga kerja manusia akan terus bersaing dengan teknologi yang menghasilkan otomasi.
Maka, pasar kerja akan terdisrupsi, lapangan kerja yang tersedia untuk manusia akan diambil alih mesin atau robot. Bahkan, hasil pekerjaan mesin, komputer atau robot ini bisa lebih cepat dan efisien.
Bagi para pegiat human capital, perkembangan ini akan menjadi tantangan tersendiri. Penting untuk memperkuat ketajaman intuisi anak-anak muda terhadap peluang bisnis yang ditopang inovasi. Tujuannya, supaya bisa bersaing dengan mesin, mengalahkan, bahkan melampaui mesin.
Di situlah kunci perlunya perubahan dan antisipasi melalui pendidikan dan kewirausahaan. Jack Ma menyebutnya sebagai pengembangan infrastruktur lunak.
Proses itulah yang akan membangun mindset optimistis, rasa percaya diri, kekuatan visi, serta kemampuan meneropong peluang ke depan.
***
Keterbatasan infrastruktur dan teknologi di sebuah negara yang sedang berkembang juga tidak perlu menjadi hambatan berarti.
Jack Ma berkisah, saat mulai mendirikan Alibaba 19 tahun silam, jaringan internet China masih relatif tertinggal. Bukan cuma tertinggal dalam teknologi internet, infrastruktur pendukung juga serba terbatas.
Namun, Alibaba terus bergerak maju, bermodalkan rasa percaya diri, sikap optimistis dan kesigapan dalam melihat peluang dan inovasi. Mindset itu terbangun kuat dalam diri Jack Ma bersama para koleganya.
Misalnya kondisi internet China yang lemot pada saat itu, Jack Ma menggambarkan butuh waktu 3,5 jam untuk mengunduh bahkan sekadar separuh gambar. Itu kondisi 20 tahun silam.
Jack Ma menggambarkan butuh waktu 3,5 jam untuk mengunduh bahkan sekadar separuh gambar. Itu kondisi 20 tahun silam.
Bukan cuma itu. Bersama 18 koleganya saat mendirikan Alibaba, Jack Ma menyadari bahwa mereka semua tidak punya uang, tidak punya pengetahuan teknologi, dan tidak punya relasi. Berbagai keterbatasan itu tidak lantas membuat Alibaba berhenti.
Hal itu terdorong oleh misi kuat membantu usaha kecil mendapatkan akses pasar melalui internet, guna menghasilkan uang. Hanya dengan internet, usaha kecil dapat menjual barang tidak saja di lingkungan sekitarnya, tetapi ke seluruh China dan bahkan dunia.
Tentu, kemudian Jack Ma membangun pula jaringan logistik, dan membangun sistem pembayaran elektronik sendiri, Alipay.
Maka, Jack Ma berhasil menyulap ketertinggalan di China saat itu, bahkan menjadi peluang bisnis. Keterbatasan infrastruktur, logistik dan sistem pembayaran justru dipandang sebagai kesempatan menghasilkan uang.
Kuncinya dengan kerja keras, percaya pada masa depan, percaya pada visi, dan hari demi hari meningkatkan diri. Dengan semua itu, Alibaba meraih kesuksesan.
Pada tahun ke-20, Alibaba telah menjelma menjadi raksasa e-commerce. Bukan cuma merajai China, melainkan juga dunia.
Lebih dari itu, Jack Ma juga jadi salah satu orang terkaya dunia, dengan aset hampir US$35 miliar tahun lalu.
***
Bagi saya, kisah Jack Ma bukan sekadar sukses Alibaba. Ia adalah keberhasilan transformasi ekonomi China dari negara berkembang menjadi perekonomian terkuat kedua di dunia setelah Amerika. Ini berkat kemajuan teknologi dan sumber daya manusia dengan inovasi luar biasa.
Alibaba hanyalah sampel saja. Dan, pemerintah China membuat koridor yang jelas. Ini yang tidak disinggung oleh Jack Ma.
Kita tahu, China membangun sendiri teknologi internetnya, termasuk mesin pencari sendiri. Dalam kamus internet China, tak ada made in America, melainkan made in China. Tak ada Google, melainkan Baidu. Tak boleh ada Facebook. Mereka tak pula pakai Whats¬App, tetapi WeChat.
Maka, disrupsi teknologi yang menjadi ancaman di banyak belahan dunia yang lain, telah menjadi peluang bisnis yang besar di China.
Produk usaha kecil dan menengah China yang membesarkan Alibaba, kini juga menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai platform perdagangan digital lainnya. Juga di pasar Indonesia.
Tentu ada banyak pelajaran yang dapat kita petik. Menyiapkan sumber daya manusia dan pola pikir entrepreneurship sejak usia muda, bagi anak-anak kita. Akan tetapi, itu saja tidak cukup.
Perlu pula pendekatan pemerintah yang lebih proaktif dalam memfasilitasi perkembangan teknologi dengan batas-batas yang jelas, untuk tidak mengatakan protektif.
Indonesia memiliki pasar yang besar. Namun, apabila pasar besar ini tidak dikelola dengan benar, bisa jadi di tengah disrupsi digital akhir-akhir ini, kita akan semakin gigit jari.
Jangan sampai kita menyadarinya setelah begitu terlambat. Jika itu terjadi, kita semua sudah terlanjur ‘basah kuyup’.
Saya jadi ingat salah satu kutipan menarik Jack Ma dalam kesempatan yang berbeda, “Benahilah atap rumah Anda selagi cuaca masih terang. Jangan benahi atap rumah Anda, ketika sudah turun hujan.”
Nah, bagaimana menurut Anda?
- Sumber: Beranda Bisnis Indonesia edisi 19 Oktober 2018, halaman 1, dengan judul asli Resep Siasati Disrupsi ala Jack Ma