Inggris memiliki sejarah panjang terkait industrialisasi yang membuat negara ini memiliki sistem kereta api paling tua di dunia. Era industrialisasi menjadi faktor utama yang memacu sistem transportasi semakin maju, khususnya kereta api, yang menjadi pilihan untuk mengangkut sejumlah komoditas pada masa itu.
Perlahan, peran kereta api semakin vital dalam memobilisasi manusia hingga lintas batas negara. Terlebih, seiring dengan adanya perkembangan pesat pembangunan infrastruktur disar, peran kereta api tidak bisa lagi disepelekan.
Semakin tinggi mobilitas orang di perkotaan, permintaan akan penambahan rela kereta api dan lokomotif terbukti kian melesat. Untuk meningkatkan efisiensi mobilitas masyarakat, maka Inggris mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD) guna mengakomodasi gaya hidup masyarakat urban.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Department for International Trade dari Kedutaan Inggris di Indonesia mengundang Bisnis Indonesia untuk melihat lebih dekat praktik TOD yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris dalam pengembangan stasiun kereta api. Adapun, tiga stasiun yang dipilih adalah Stasiun King’s Cross di London, Stasiun Manchester Piccadilly, dan Stasiun Manchester Victoria di Manchester.
Bagi penggemar novel berseri karangan J. K. Rowling dan film berseri dengan judul yang sama yakni ‘Harry Potter’, keberadaan Stasiun King’s Cross di London sangat familiar. Stasiun ini adalah lokasi dimana para murid menaiki kereta Hogwarts Express menuju Hogwarts School of Witchcraft dan Wizardry. Untuk menaiki Hogwarts Express, Harry dan kawan-kawannya harus masuk di platform 9¾ yang berada di antara platform 9 dan 10.
Di tengah kesibukan Stasiun King Cross ini, anda bisa menemukan platform 9¾ yang selalu dipenuhi oleh penggemar serial Harry Potter untuk berfoto dengan atribut lengkap khas para siswa Hogwarts School of Witchcraft dan Wizardry. Tak jauh dari lokasi tersebut, pihak stasiun juga menyediakan toko yang menjual souvenir khas Harry Potter.
Selain Harry Potter, King’s Cross juga dikenal sebagai salah satu stasiun paling sibuk di London. Stasiun ini sering menjadi model percontohan atas konsep TOD yang didengung-dengungkan dapat menjadi solusi bagi masalah transportasi di perkotaan.
Konsep ini merupakan pengembangan wilayah yang mengedepankan konektivitas antara jaringan transportasi publik dengan perumahan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.
Yang menarik, stasiun ini memiliki konektivitas cukup tinggi mulai dari moda kereta api itu sendiri, terminal bis, hingga moda transportasi pribadi. Stasiun King’s Cross ini juga terhubung langsung dengan Stasiun Euston yang akan membawa penumpang ke beberapa area di London dan luar Kota London. Tak hanya itu, mobilitas penumpang yang tinggi ke Eropa misalnya Prancis dan Brussel bisa dilayani di Stasiun Pancras International yang merupakan bagian integral dari Stasiun King’s Cross.
AREA TERBUANG
Sebelum menjelma menjadi stasiun dengan tingkat konektivitas cukup tinggi, area King’s Cross tak ubahnya sebuah stasiun legendaris yang terbuang dengan banyaknya gedung tidak terpakai dan harga tanah yang merosot tajam.
Area ini juga sempat dikenal sebagai ‘red district’ yang dikemas dengan persoalan sosial mulai dari peredaran obat-obatan terlarang, kemiskinan, dan prostitusi.
Direktur Senior Argent, Chris Smith, juga mengakui bahwa dahulu kala, area ini dikenal sebagai distrik merah sehingga harga tanah di King’s Cross sangat murah. Jika dilihat dari perspektif developer, ketika pengembang hanya membangun satu gedung di situ, tentu hal tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan di sekitarnya.
“Namun, jika anda mampu mengubah identitas kawasan tersebut menjadi daerah yang lebih baiik, semua persoalan itu akan sirna,” ujarnya.
Dengan melihat kebutuhan untuk merombak kawasan King’s Cross menjadi area yang komersial sekaligus terkoneksi dengan fasilitas publik di tengah Kota London, maka pemerintah memutuskan untuk mengalihkan kepemilikan area King’s Cross kepada swasta pada 1990 dan dilanjutkan dengan perombakan besar-besaran pada 2007.
Hingga kini, stasiun sentral London ini menjelma menjadi stasiun dengan jumlah penumpang mencapai 125 juta tiap tahunnya. Stasiun ini tidak hanya menghubungkan penumpang ke area di sekitar London, tetapi juga ke luar London, bahkan ke Eropa melalui Stasiun Pancras.
“Jika anda memperhatikan area King’s Cross, ini adalah satu-satunya stasiun bawah tanah dengan yang memiliki 6 platform tube dalam satu lokasi. London dikenal memiliki sistem transit massal bawah tanah yang massal dan ektensif,” katanya.
Saat ini, area di sekitar Stasiun King’s Cross dan Pancras yang disebut King;s Cross Central dilengkapi dengan 2.000 rumah baru, area perkantoran seluas 464.500 m2, dan jalan-jalan baru. Tak hanya itu, pihak pengembang juga berhasil merombak sejumlah bangunan tanpa harus meruntuhkan bangunan bersejarah di kawasan tersebut.
“Tantangan paling besar bagi kami adalah siapa yang berani untuk menjadi pionir bagi restorasi King’s Cross. Saat itu, University of the Arts of London memutuskan untuk membangun gedungnya di sini. Langkah berani ini juga diikuti oleh pemerintah kota yang memilih area ini untuk membangun kantornya,” ujarnya.
Meski sudah berhasil melakukan perubahan besar-besaran terhadap stasiun tersebut, dia menyebutkan pengembang masih harus beradaptasi dengan massifnya perkembangan dunia saat ini. Dia mencontohkan banyak hal, antara lain situasi politik Inggris yang semakin tidak menentu akibat Brexit, dan perubahan gaya hidup masyarakat di era disrupsi teknologi.
“20 tahun yang lalu, kita masih terkejut bahwa sebuah toko memiliki website untuk memasarkan produknya. Sekarang, semua orang membeli kebutuhannya melalui online. Untuk itu, semua outlet ritel di sini menitikberatkan pada sisi experience dibandingkan hanya menjual produknya saja,” tambahnya.
TOD MANCHESTER
Selain King’s Cross, salah satu TOD yang dapat diperhitungkan di Inggris adalah Stasiun Machester Piccadilly di Kota Manchester. Kota kelahiran klub sepak bola kenamaan Manchester United ini bisa menjadi percontohan bagi Indonesia untuk membangun TOD di kawasan perkotaan.
Stasiun Manchester Piccadilly adalah stasiun terbesar di Manchester dan terbesar keempat di Inggris yang berada di luar Kota London. Sama seperti Stasiun King’s Cross, stasiun ini juga mengalami perombakan bertahap untuk mengakomodasi peningkatan luar biasa atas penumpang kereta api di Manchester yang saat ini mencapai 25 juta per tahun.
Sebagai stasiun terbesar di Manchester, stasiun ini dilengkapi dengan 16 platform yang menghubungkan Manchester dengan kota-kota di sekitarnya. Memasuki stasiun ini membuat kita merasa berada di dua dimensi yakni dimensi saat ini dan dimensi masa lalu. Hal ini tidak terlepas dari beberapa bagian gedung stasiun yang masuk ke dalam kategori gedung bersejarah.
Jika dilihat lebih teliti, bagian dalam stasiun ini dipertahankan sesuai bentuk bangunan ketika awal stasiun ini berdiri pada 1842. Namun ketika melangkah keluar menuju pusat perbelanjaan, kita akan disambut oleh suasana modern yang dimeriahkan dengan beragam outlet ritel yang ada. Di beberapa sudut luar stasiun ini, suasana historis juga masih bisa dirasakan oleh pengunjung karena pengembang masih mempertahankan bentuk arsitektur yang lama.
Beranjak tak jauh dari Stasiun Manchester Piccadilly, saya kembali diajak untuk mengunjungi Stasiun Machester Victoria. Yang unik, stasiun ini secara terbuka menggabungkan konsep stasiun kereta dengan trem. Masuk melalui pintu depan, pengunjung akan disuguhkan dengan kesibukan masuk dan keluar trem. Namun, ketika masuk ke dalam, terlihat lalu lalang penumpang menggunakan trem kemudian beralih menggunakan kereta api hanya dengan jarak tak lebih dari 500 meter.
Stasiun ini sempat dirombak besar-besaran pada 2013 dan rampung sepenuhnya pada 2015. Perubahan tersebut untuk mengakomodasi peningkatan luar biasa atas penumpang kereta api di Manchester yang diperkirakan mencapai 12 juta pada tahun depan.
Perubahan massal tidak hanya terjadi pada bentuk bangunannya, tetapi juga penambahan koneksi transportasi publik, hingga perluasan akses masuk dan keluar bagi pengunjung. Pasalnya, stasiun ini tidak hanya menampung penumpang kereta, bis, dan trem saja, tetapi juga merupakan jalan masuk bagi pengunjung menuju Manchester Arena, sebuah ruangan indoor yang mampu menampung 21.000 orang.
Renovasi yang menghabiskan dana €48,5 juta berhasil menambahkan sebuah jembatan sepanjang 60 meter yang menjadi akses bagi pengunjung Manchester Arena sekaligus menjadi pemisah akses bagi pengunjung arena dan pengguna kereta dan trem di stasiun itu. Tak hanya itu, perubahan lain yang terlihat adalah atap yang cukup tinggi untuk memberi kesan stasiun lebih luas dan menghemat listrik karena atap ini memungkinkan sinar matahari menyinari stasiun pada pagi hingga sore hari.
Peter Jenkins, Direktur Arsitek BDP, menekankan keputusan melakukan restorasi besar-besaran di Stasiun Victoria Manchester adalah untuk memperbaiki konektivitas stasiun ini yang buruk. Menurutnya, keberadaan paling penting bagi sebuah TOD adalah konektivitasnya.
“Stasiun Victoria Manchester ini memiliki cukup banyak gedung bersejarah sehingga membutuhkan konsep yang matang untuk menggabungkannya dengan rencana renovasi stasiun pada waktu itu,” ujar Jenkins.