Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berencana membangun monumen bencana likuifaksi di wilayah Kelurahan Petobo dan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah.
Sesuai dengan rekomendasi Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lokasi terjadinya likuifaksi tidak lagi dijadikan sebagai lokasi hunian. Langkah ini merupakan bagian dari mitigasi bencana geologi.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menuturkan dari laporan Badan Geologi, daerah ini dahulunya adalah rawa-rawa sehingga memungkinkan atau rawan terjadi likuifaksi. Untuk menghindari terulangnya hal yang sama seperti ketika gempa terjadi pada akhir bulan lalu, Badan Geologi akan memetakan wilayah yang rawan mengalami likuifaksi.
Wilayah terdampak likuifaksi tinggi, lanjutnya, tidak layak untuk didiami. Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) pun akan menjadikannya sebagai monumen dalam bentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan Badan Geologi bahwa rekonstruksi dan rehabilitasi pascagempa di Sulteng hendaknya mengacu pada Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gempa Bumi, Peta KRB Tsunami, dan Peta Potensi Likuifaksi yang diterbitkan oleh Badan Geologi," tutur Arcandra melalui keterangan resmi, Jumat (12/10/2018).
Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar menyebutkan wilayah Palu dan sekitarnya merupakan wilayah yang berpotensi tinggi mengalami likuifaksi.
Pada gempa Jumat (28/9), ada tiga area yang mengalami likuifaksi yakni Kelurahan Petobo di Palu, Balaroa di Palu, dan Kelurahan Jono Oge di Sigi. Dari ketiga wilayah itu, Petobo dan Balaroa direkomendasikan untuk tidak didiami karena mengalami likuifaksi yang masif.
"Informasi dari Pemerintah Daerah (Pemda), bahwa wilayah yang terkena bencana likuifaksi tidak akan dihuni dan akan dijadikan semacam memorial park, karena dua wilayah ini sudah tidak stabil lagi untuk didirikan bangunan dan dua wilayah ini berdasarkan Peta Likuifaksi tahun 2012 merupakan wilayah dengan potensi terjadinya likuifaksi tertinggi," paparnya.