Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku usaha menilai paket kebijakan dan deregulasi aturan yang diterbitkan pemerintah selama ini telah menunjukkan inisiatif yang baik dari pemerintah. Hanya saja, mereka menilai, proses implementasi di lapangan masih terbatas.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, dari 16 paket kebijakan yang telah diterbitkan, mayoritas belum efektif ketika diimplementasikan di lapangan.
Menurutnya, salah satu hal yang menghambat implementasi tersebut adalah beberapa paket kebijakan tersebut belum memiliki payung hukum yang kuat.
“Contohnya, penghapusan izin gangguan di Paket Kebijakan XII. Pemerintah pusat sudah mengeluarkan keputusan, tetapi realisasi di daerah sangat sulit. Sebab berkaitan dengan peraturan daerah dan retribusi yang diterima oleh pemerintah daerah,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (30/9/2018).
Dia menilai, untuk merealisasikan kebijakan tersebut, harus ada yang melakukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang No.29/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Namun, langkah tersebut membutuhkan waktu yang panjang, sehingga implementasinya sulit dilakukan.
Di sisi lain, dia menyoroti adanya hambatan dalam hal eksekusi kompetensi paket kebijakan. Pasalnya, kementerian dan lembaga yang terkait dengan kebijakan pemerintah masih belum merespons paket kebijakan tersebut dengan cepat.
Kendati demiikian, dia tetap mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberikan relaksasi dan kepastian berbisnis melalui paket kebijakan. Salah satu paket kebijakan yang diapresiasi adalah formulasi pengupahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.78/2015.
“Peraturan itu memberikan kelegaan dan kepastian bisnis bagi pengusaha, karena semua hal terkait dengan pengupahan telah terformulasi dengan baik dan pebisnis dapat menghitung anggarannya dengan tepat pula,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W. Kamdani mengatakan, secara umum paket kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo bermasalah dalam hal eksekusi.
“Niatnya baik, tetapi ketika eksekusi pada umumnya tidak berjalan dengan baik. Paket Kebijakan I, contohnya, yang memangkas banyak regulasi atau deregulasi. Akan tetapi, selanjutnya malah muncul regulasi baru, sehingga malah jadi reregulasi bukan deregulasi,” katanya.
Dia menyebutkan, fenomena tersebut salah satunya disebabkan oleh kurangnya koordinasi dengan pelaku usaha. Dia mencontohkan kebijakan online single submission (OSS) yang memiliki misi yang baik.
Namu, kebijakan OSS tersbeut tidak dibarengi dengan kesiapan sistem penyatuan perizinan di kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Alhasil, program tersebut menciptakan hambatan usaha baru, setelah sebelumnya direlaksasi melalui Paket Kebijakan II tentang penerbitan izin usaha 3 jam sejak pengajuan oleh pelaku usaha.
Senada, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahaladia mengatakan, pemerintah perlu mengurai satu per satu paket kebijakan yang masih terhambat implementasinya. Menurutnya, fokus pada memaksimalkan implementasi kebijakan akan lebih baik dibandingkan dengan terus menelurkan kebijakan baru.
“Yang perlu diuraikan ini adalah ujungnya, terutama di daerah. Sebab seringkali apa yang dirumuskan di pusat, sulit diaplikasikan di daerah. Karena pemerintah daerah mempunya kepentingan sendiri terkait daerahnya,” katanya.
Kendati demikian, dia menilai, paket kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah sudah sangat membantu meningkatkan iklim usaha dan daya saing bisnis dalam negeri.