Bisnis.com, JAKARTA — Program pengampunan pajak sudah berakhir sejak Maret 2017, namun realisasi dana repatriasi aset ternyata masih kurang Rp9 triliun, dari total komitmen setoran sebesar Rp147 triliun.
Pengampunan pajak menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (25/8/2018). Berikut laporannya.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan instansinya tengah mempelajari dan mencocokkan data yang masuk, termasuk yang berasal dari pihak ketiga, dengan profil wajib pajak (WP).
“Jika kemudian ditemukan indikasi ketidakpatuhan, otoritas pajak memiliki instrumen untuk menentukan jenis tindakan atau sanksi yang diberikan kepada wajib pajak. Realisasi repatriasi baru Rp138 triliun. Kekurangan ini yang masih kami tindaklanjuti,” ungkapnya, Jumat (24/8/2018).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165/PMK.03/2017 yang merupakan perubahan kedua dari PMK Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pengampunan Pajak, sanksi bagi peserta pengampunan pajak yang gagal merealisasikan komitmen repatriasi alias pemulangan harta dari luar negeri ke dalam negeri harus membayar pajak penghasilan (PPh) atas harta terkait ditambah dengan sanksi administrasi 2% per bulan yang dihitung sejak 1 Januari 2017.
Sebagai pengingat, pada akhir pelaksanaan program, tax amnesty diikuti oleh 973,4 ribu wajib pajak dengan total penerimaan uang tebusan mencapai Rp115,9 triliun. Berdasarkan pengungkapan harta, program tax amnesty diklaim menjadi salah satu yang tersukses di dunia dengan capaian Rp4.884,2 triliun. Rinciannya, deklarasi harta dalam negeri Rp3.700,8 triliun, deklarasi harta luar negeri Rp1.036,7 triliun, dan repatriasi aset Rp147 triliun.
Ketentuan mengenai tindaklanjut pascapengampunan pajak juga didasarkan pada Pasal 18 UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak, yang memberikan kewenangan bagi otoritas pajak saat menemukan harta yang tidak diungkapkan dalam surat pernyataan, untuk mengenakan PPh atas harta tersebut.
Selain Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, Ditjen Pajak juga telah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 14/PJ/2018 tentang Pengawasan WP Pasca Periode Pengampunan Pajak.
Dalam edaran itu Dirjen Pajak meminta jajarannya untuk memperketat monitoring, terutama bagi WP yang tak ikut program tax amnesty. Pemeriksaan itu juga merupakan amanat PP No. 36/2017 tentang Pengenaan PPh atas Penghasilan Tertentu berupa Harta Bersih yang Dianggap Sebagai Penghasilan.
PP itu mengamanatkan, harta yang belum masuk SPT maupun pengungkapan harta dalam program pengampunan pajak akan kena Pajak Penghasilan (PPh) tarif final. Untuk WP badan akan dikenakan tarif 25%, sedangkan WP pribadi sebesar 30%.
Ada pun, bagi bukan peserta tax amnesty dan ditemukan ada harta yang tidak diungkapkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan, harta tersebut akan dikenakan PPh. Batas waktu penyampaiannya adalah sampai dengan 30 Juni 2019.
Hestu menegaskan proses tindak lanjut terhadap WP yang tak ikut pengampunan pajak masih terus berjalan.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan pemerintah seharusnya konsisten dengan tujuan tax amnesty (TA), yaitu mendorong WP tidak patuh menjadi patuh.
"Jadi, untuk menjaga kepercayaan wajib pajak yang sudah patuh selama ini, pemerintah tidak ada pilihan untuk menindak secara tegas melalui pemeriksaan terhadap wajib pajak yang tak patuh ketika sudah diberikan kesempatan TA," katanya,kemarin.
Darussalam menyebut pemeriksaan perlu dilakukan supaya tercipta perlakuan yang adil antara wajib pajak yang patuh dan tidak patuh. "Artinya, wajib pajak patuh harus diberikan apresiasi dan wajib pajak tidak patuh harus diberikan sanksi," tukasnya.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengingatkan aktivitas pemeriksaan terhadap WP peserta pengampunan pajak akan memberikan dampak psikologis. Dalam hal ini, WP seolah tak memiliki kelonggaran supaya berbenah dan bernafas. “ seharusnya difokuskan ke WP yang bukan peserta pengampunan pajak.”
FUNGSI STIMULUS
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menilai, sistem perpajakan saat ini lebih fokus kepada fungsi anggaran atau proses pemungutan kepada publik. Padahal menurutnya, pemerintah seharusnya juga memperhatikan fungsi perpajakan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional.
“Stimulan ini dibutuhkan agar perekonomian bergerak lebih kencang. Contoh Amerika Serikat yang memutuskan memangkas tarif pajaknya, untuk memicu industri dan ekonomi dalam negerinya,” katanya, Jumat (24/8).
Hariyadi pun mencontohkan eksekusi kebijakan percepatan restitusi pajak eksportir yang relatif terlambat. Padahal, menurutnya, restitusi pajak merupakan stimulus yang relatif efektif bagi negara untuk mendongkrak industri dalam negeri dan memacu pendapatan devisa.
Di sisi lain, dia juga menyoroti ketidakpastian sistem perpajakan di Indonesia. Seringnya perubahan sistem perpajakan, terutama terkait dengan proses pemungutannya, berpotensi menciptakan ketidakpastian berusaha di dalam negeri.
Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN Apindo) juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan berbagai kebijakan perpajakan, termasuk pembatasan masuknya beragam komoditas melalui impor dengan menaikan Pajak Penghasilan (PPh). (Edi Suwiknyo/Anggara Pernando/Yustinus Andri)