Bisnis.com, JAKARTA — Beban biaya Surat Muatan Udara (SMU) atau airway bill dinilai masih menjadi komponen terbesar dalam penentuan tarif pengiriman ekspres.
Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) menyatakan rata-rata beban biaya SMU bagi pengusaha kurir dalam lingkaran Asperindo mencapai 30% dari total biaya pengiriman.
Ketua Umum DPP Asperindo Mohamad Feriadi mengatakan sampai saat ini beban biaya SMU masih belum ada perubahan sama sekali. Artinya, biaya SMU masih tetap tinggi.
"Kalau yang saya ketahui tidak ada perubahan apapun dan masih sama saja," katanya, Senin (20/8/2018).
Tingginya biaya SMU membuat pengusaha jasa pengiriman ekspres kesulitan menekan harga khususnya pengiriman barang antarpulau.
Apalagi, sebagian besar barang yang dikirim ke luar daerah tersebut rata-rata menggunakan pesawat terbang.
Namun, SMU diperlukan karena dalam bisnis pengiriman ekspres yang membutuhkan kecepatan, angkutan udara selalu menjadi pilihan utama.
Managing Director PT Citra Van Titipan Kilat (Tiki) Tomy Sofhian mengaku bahwa biaya SMU merupakan salah satu komponen biaya yang besar.
Bahkan, dia menyebut persentase biaya SMU terhadap total biaya pengiriman ekspres untuk Tiki mencapai 50%.
"SMU salah satu komponen biaya yang terbesar. Kisaran 50% [dari total pengiriman]," ujarnya.
Namun demikian, dia menyatakan guna menjaga tarif agar tetap kompetitif pihaknya mengaku menjalin kerja sama dengan maskapai penerbangan dalam jangka waktu yang panjang.
Adapun SMU pada dasarnya adalah surat tanda terima berupa dokumen sebagai bukti fisik adanya perjanjian untuk pengiriman melalui udara antara pihak pengirim kargo dan pengangkut, dengan wewenang hak penerima kargo untuk mengambil kargo.
Dokumen tersebut diperoleh melalui agen yang ditunjuk oleh maskapai penerbangan untuk menjual SMU. Untuk penerbangan domestik beberapa di antaranya adalah agen SMU Lion Air dan agen SMU Sriwijaya Air.
Sementara untuk pengiriman luar negeri dapat melalui agen SMU Malaysian Airlines atau Singapore Airlines.