Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERSPEKTIF: Efektivitas Instrumen Pengamanan Perdagangan

Dalam penyusunan suatu kebijakan, misalnya, regulator juga seyogyanya mempertimbangkan regulasi yang diberlakukan oleh negara-negara tujuan ekspor, seperti amendemen yang baru dilakukan oleh Uni Eropa
Sketsa wajah Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan./Bisnis-Desainer Grafis
Sketsa wajah Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan./Bisnis-Desainer Grafis

Bisnis.com, JAKARTA – Seiring dengan berkembangnya pasar bebas global, perlindungan terhadap industri dalam negeri dari perdagangan yang tidak adil (unfair trade) menjadi suatu tuntutan yang sangat krusial untuk menjaga agar persaingan usaha tetap sehat.

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam perjanjian World Trade Organization (WTO), negara-negara anggota WTO berhak melindungi industri dalam negerinya apabila industri tersebut mengalami kerugian akibat perdagangan yang tidak adil.

Sebagai contoh, masuknya barang impor dari produk yang sama atau sejenis dengan harga yang lebih rendah dari harga ketika barang tersebut dijual di negara asal (nilai normal) atau yang lebih dikenal dengan istilah dumping, maupun ketika barang impor tersebut mengandung subsidi yang diberikan oleh pemerintah di negara asal barang tersebut kepada industri domestiknya.

Jumlah inisiasi penyelidikan anti-dumping dan anti-subsidi yang dilakukan oleh negara-negara anggota WTO cenderung mengalami peningkatan. Menurut data statistik, sejak 1995 hingga 2017, jumlah inisiasi penyelidikan anti-dumping yang dilakukan oleh negara-negara anggota mencapai 5.529 kasus atau sekitar 240 kasus setiap tahunnya.

Selama kurun waktu tersebut, produk Indonesia sudah 208 kali masuk dalam inisiasi penyelidikan anti-dumping yang dilakukan oleh negara-negara anggota. Sementara itu, untuk jumlah inisiasi penyelidikan anti-subsidi adalah sebanyak 486 kasus atau sekitar 21 kasus setiap tahunnya dan produk asal Indonesia menjadi target dalam 22 kasus.

Uni Eropa, salah satu negara yang aktif melakukan penyelidikan anti-dumping dan anti-subsidi atas barang yang berasal dari Indonesia, baru-baru ini telah mengubah regulasi domestiknya yang mengatur mengenai pembaharuan metodologi dalam penyelidikan anti-dumping melalui Regulasi nomor 2017/2321.

Regulasi penentuan nilai normal (harga domestik) baru ini diadopsi sejak 20 Desember 2017 yang kemudian dilanjutkan dengan perubahan (modernisasi) ketentuan anti-dumping dan anti-subsidi EU pada 8 Juni 2018.

Modernisasi trade remedi EU ini pada prinsipnya merupakan perluasan konsep penentuan dumping dengan metode yang boleh jadi tidak sesuai dengan standar ketentuan WTO. Modernisasi trade remedi Uni Eropa ini dilatarbelakangi oleh berakhirnya status non-market economy China pada akhir 2016 berdasarkan Protocol Accession RRT di WTO.

Berdasarkan aturan regulasi modernisasi ini, otoritas trade remedi Uni Eropa diperbolehkan untuk mengesampingkan nilai normal (harga domestik) aktual dari produsen negara yang dituduh dumping dan mengacu pada biaya produksi di negara ketiga (benchmarking) untuk dasar penghitungan marjin dumping apabila terdapat “distorsi signifikan” di negara yang dituduh dumping.

Di dalam regulasi pada 2017 tersebut diatur bahwa terdapat enam kebijakan umum pemerintah yang memberikan indikasi adanya distorsi signifikan terhadap kondisi pasar di dalam negeri, yaitu: pertama pengendalian pemerintah atas perusahaan penyedia bahan baku dan energi, kedua yaitu campur tangan pemerintah atau BUMN atas biaya atau harga bahan baku dan energi, dan ketiga adalah kebijakan publik yang bersifat diskriminatif dan menguntungkan perusahaan domestik.

Selanjutnya atau keempat, UU yang mengatur mengenai perusahaan, kepailitan atau properti yang bersifat diskriminatif, kelima kebijakan upah minimum, dan keenam fasilitas keuangan yang diberikan oleh negara. Kebijakan ekonomi nasional suatu negara dapat diindikasikan mengalami distorsi signifikan hanya dengan terpenuhinya salah satu kebijakan tersebut.

Selanjutnya melalui regulasi nomor 2018/825 yang telah mulai diberlakukan sejak 8 Juni 2018 ditentukan sejumlah kebijakan pemerintah yang dipandang menyebabkan distorsi signifikan dalam hal perolehan bahan baku.

Kebijakan-kebijakan tersebut, a.l skema harga ganda, pajak ekspor, pajak ekspor tambahan, kuota ekspor, larangan ekspor, pajak fiskal untuk ekspor, persyaratan lisensi, harga ekspor minimum, pajak nilai tambah, dan pengurangan atau pencabutan pembayaran kembali.

Ada juga, pembatasan customs clearance, daftar eksportir unggulan, kewajiban pasar dalam negeri, dan captive mining if the price of a raw material is significantly lower as compared to prices in the representative international markets.

Daftar kebijakan yang distortif ini ini mengacu pada database Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Dampak bagi RI

Apabila Otoritas EU telah menetapkan bahwa terdapat distorsi signifikan dari kebijakan pemerintah, dampak yang paling mendasar adalah dikesampingkannya biaya produksi aktual dalam penentuan nilai normal (harga domestik) produsen bersangkutan dan diganti dengan harga referensi negara ketiga.

Akibatnya, akan terjadi penggelembungan nilai normal (harga domestik) produsen tersebut karena harga referensi yang akan digunakan akan jauh lebih tinggi yang pada akhirnya akan menyebabkan margin dumping menjadi sangat tinggi.

Selanjutnya distorsi signifikan dalam perolehan bahan baku juga berpengaruh terhadap penerapan lesser duty rule dalam investigasi anti dumping. Pada dasarnya Uni Eropa mengharuskan pihak otoritas trade remedi untuk menggunakan lesser duty rule yaitu menerapkan bea masuk yang lebih rendah dibandingkan marjin dumping atau marjin subsidi apabila besaran bea masuk tersebut dinilai sudah cukup untuk mengatasi kerugian (marjin kerugian) yang dialami oleh industri dalam negeri Uni Eropa.

Regulasi baru ini, sangat disayangkan, memberikan keleluasaan bagi pihak otoritas untuk tidak menerapkan lesser duty rule apabila terpenuhi dua kondisi yaitu: produk yang diselidiki berasal dari bahan baku yang terdistorsi akibat intervensi pemerintah sebagaimana tercantum dalam list OECD di atas dan minimum proporsi biaya bahan baku yang terdistorsi tersebut, termasuk energi, secara individual mencapai 17% dari total biaya produksi.

Dengan adanya ketentuan baru ini, penggunaan lesser duty rule tidak lagi otomatis diberlakukan dalam setiap investigasi anti-dumping yang diinisiasi oleh pihak otoritas Uni Eropa. Sementara itu, dalam penyelidikan anti-subsidi, lesser duty rule tidak akan lagi diberlakukan dalam semua investigasi, kecuali apabila hal tersebut bertentangan dengan kepentingan publik di Uni Eropa (misalnya konsumen dan industri pengguna barang yang diselidiki).

Regulasi ini juga mengatur mengenai faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pihak otoritas dalam menentukan target profit untuk perhitungan marjin kerugian, seperti tingkat profitabilitas industri dalam negeri Uni Eropa sebelum terjadinya peningkatan impor dari negara yang diselidiki, tingkat profitabilitas yang diperlukan untuk menutup seluruh biaya dan investasi, penelitian dan pengembangan serta inovasi, tingkat profitabilitas yang diharapkan dalam kondisi persaingan normal, dan faktor-faktor lainnya. Selain itu, batas minimum profit margin ditetapkan sebesar 6%.

Modernisasi ini tentunya akan sangat tidak menguntungkan bagi para eksportir yang diselidiki karena terdapat keleluasaan dari otoritas Uni Eropa untuk menentukan dumping margin yang tinggi dan berakibat tertutupnya akses pasar Indonesia ke EU.

Penerapan hal serupa bahkan telah dilakukan oleh EU dalam penyelidikan anti-dumping yang dilakukan atas produk Biodiesel sebelum modernisasi dilakukan. Dengan menggantikan biaya produksi aktual produsen Indonesia dengan harga referensi internasional, marjin dumping final untuk eksportir asal Indonesia menjadi 8,8%-23,3%, dari seharusnya 0%-9,6%.

Dikesampingnya biaya produksi aktual produsen Indonesia tersebut karena otoritas EU menilai bahwa harga bahan baku biodiesel di Indonesia telah terdistorsi akibat pengimplementasian sistem Differential Export Tax (DET). Walaupun pada akhirnya Indonesia berhasil memenangkan sengketa di WTO, sangat disayangkan EU bahkan memodernisasi regulasinya untuk membenarkan tindakannya tersebut.

Perlu dicermati bahwa tindakan serupa juga dilakukan oleh otoritas Amerika Serikat (produk biodiesel) dan Australia (produk kertas), di mana nilai normal (harga domestik) produsen telah ditentukan dengan memakai cara konstruksi mengacu pada benchmarking negara ketiga dengan alasan yang sama (terdapat distorsi karena kebijakan Pemerintah). Sebagai akbibatnya, besaran anti-dumping yang ditemukan sangat tinggi sehingga menutup akses pasar produk Biodiesel dan produk Kertas ke dua negara tersebut.

Khusus untuk modernisasi regulasi di EU, tentunya restriksi penggunaan lesser duty rule akan merugikan produsen Indonesia karena penetapan margin dumping hampir sepenuhnya hanya mengacu pada besaran dumping.

Modernisasi tersebut secara potensial akan megakibatkan diterapkannya remedi ganda, di mana bea masuk anti-dumping dan bea masuk anti-subsidi/imbalan diterapkan secara bersamaan karena satu kebijakan yang dipandang distortif sebagaimana telah dilakukan oleh AS untuk produk biodisel Indoneaia..

Antisipasi Regulator

Dalam perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) yang saat ini masih bergulir, Pemerintah Indonesia tengah memperjuangkan agar perhitungan marjin dumping yang dilakukan oleh pihak otoritas Uni Eropa hanya mengacu pada data biaya-biaya yang terjadi di Indonesia. Namun, terkait dengan isu tersebut, masih belum ditemukan titik temu diantara kedua belah pihak.

Di atas itu semua hal yang paling penting bagi regulator kebijakan di Indonesia adalah mengantisipasi agar kebijakan yang diimplementasikan tidak dianggap sebagai penyebab distorsi signifikan oleh pihak otoritas di negara mitra dagang.

Dalam penyusunan suatu kebijakan, misalnya, regulator juga seyogyanya mempertimbangkan regulasi yang diberlakukan oleh negara-negara tujuan ekspor, seperti amendemen yang baru dilakukan oleh Uni Eropa ini. Apabila memungkinkan, kebijakan-kebijakan di Indonesia yang berpotensi dipandang sebagai distorsi signifikan di atas sebaiknya dicarikan alternatif bentuk/format kebijakan lainnya yang memberikan manfaat serupa.

Selanjutnya dari perspektif perlindungan industri dalam negeri, pemerintah perlu memperkuat PP No. 34/2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan termasuk perkuatan otoritas investigasi terkait.

Amendemen PP tersebut harus mampu meningkatkan efektivitas penggunaan instrumen pengamanan perdagangan di dalam negeri guna melindungi industri domestik dari praktik perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh para eksportir dari negara-negara mitra dagang.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (13/8/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper