Bisnis.com, JAKARTA -- Defisit transaksi berjalan kuartal II/2018 tercatat sebesar 3% atau US$8 miliar, melebar dari 1,96% pada kuartal II/2017.
Defisit ini juga lebih besar jika dibandingkan dengan kuartal I/2018 sebesar 2,2% atau sekitar US$5,5 miliar.
Direktur Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Yati Kurniati menyatakan dengan angka tersebut, defisit transaksi berjalan pada semester I/2018 ini masih dalam batas aman karena berada pada level 2,6% secara year-on-year (yoy) PDB.
"Meningkat karena sejalan dengan kegiatan ekonomi, terefleksikan dalam PDB yang didorong dari konsumsi dan investasi serta kegiatan manufacturing," ujarnya, Jumat (10/8/2018).
Kegiatan dalam sektor industri yang meningkat ini tercermin dari tingginya impor bahan baku dan barang modal. Kondisi ini, terang Yati, dipengaruhi penurunan surplus transaksi non migas yang menyusut di tengah naiknya defisit transaksi migas.
Dalam data PDB, BI melihat impor memang tumbuh tinggi melebihi ekspor. Namun, Yati menegaskan impor yang dilakukan itu tidak semata untuk konsumsi.
"Impor ini benar-benar untuk kegiatan produksi karena tercermin dari impor bahan baku dan barang modal yang meningkat," tambahnya.
BI menerangkan defisit neraca pedagangan migas dipengaruhi naiknya harga minyak internasional di tengah siklus kuartal kedua, di mana permintaan terhadap minyak cukup tinggi.
"Pada kuartal kedua, ada Lebaran dan Ramadan sehingga kebutuhan bahan bakar meningkat," ungkap Yati.
Pada kuartal II/2018, defisit transaksi berjalan yang melebar juga dipengaruhi oleh siklus pembayaran dividen dan Utang Luar Negeri (ULN).
Sebagian besar korporasi dalam negeri atau Penanaman Modal Asing (PMA) yang memiliki ULN harus melakukan pembayaran. Seperti diketahui, jadwal pembayaran ULN itu umumnya dilakukan pada kuartal kedua setiap tahun.
"Jadi ,ada faktor musiman yang memperbesar defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2018," imbuhnya.