Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah upaya perbaikan logistik, termasuk melalui pembangunan infrastruktur, telah mendongkrak indeks performa logistik Indonesia dari peringkat 63 menjadi 43. Ini menjadi modal besar menghadapi persaingan antarnegara.
Indeks kinerja logistik nasional diangkat sebagai topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (26/7/2018). Berikut laporannya.
Namun, RI dihadapkan pada tantangan baru untuk menjaga dan meningkatkan performa di tengah agresivitas negara-negara se-kawasan Asean, termasuk Vietnam yang kini menyalip posisi Indonesia.
Kemarin, Bank Dunia merilis Logistics Performance Index (LPI/Indeks Performa Logistik) 2018. Indeks ini mengukur kinerja logistik negara dan ekonomi di dunia per 2 tahun sekali. Adapun, komponen yang diukur mencakup kepabeanan, infrastruktur, pengiriman barang internasional, kualitas dan kompetensi logistik, pelacakan dan penelusuran barang, serta ketepatan waktu.
Tahun ini, Indonesia mengalami kenaikan 17 peringkat dengan perolehan skor 3,15. RI mencatat kenaikan hampir di semua aspek penilaian, terkecuali untuk komponen kepabeanan yang meraih skor terendah sebesar 2,67. Sementara itu, aspek penilaian tertinggi adalah ketepatan waktu dengan skor 3,67. (lihat infografis)
Capaian ini sejalan dengan sejumlah upaya perbaikan yang dilakukan di Tanah Air dalam 2 tahun terakhir, a.l. pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan oleh pemerintah hingga pembenahan dwelling time yang kini berhasil ditekan menjadi di bawah 4 hari.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro meyakini perbaikan indeks logistik tersebut merupakan hasil dari perbaikan infrastruktur.
“Kalaupun masih ada hambatan di customs, itu mungkin karena penerapan di lapangan, ada yang harusnya jalur hijau lalu masuk ke jalur merah sehingga seolah-olah menghambat.”
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengapresiasi capaian RI. Hanya saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar kinerja logistik Indonesia bisa lebih baik.
“Tentunya kita harus bekerja lebih keras lagi ke depan karena berada dalam era persaingan dan perubahan yang sangat cepat.”
Jika dibandingkan dengan posisi negara se-kawasan Asean, posisi Indonesia berada di atas Filipina, Brunei Darusalam, Laos, Kamboja, dan Myanmar, dan di bawah Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Yang menarik, Vietnam berhasil melompat 25 peringkat ke posisi 39, sehingga meninggalkan Indonesia yang sebelumnya berada di posisi yang lebih tinggi. “Kenaikan peringkat Vietnam sangat mengejutkan.”
BIAYA LOGISTIK
Lembaga riset dan pendidikan yang berfokus pada sektor logistik, Supply Chain Indonesia (SCI), menilai perlu ada perbaikan untuk meningkatkan kinerja logistik pada periode berikutnya, apalagi posisi RI dibandingkan dengan negara-negara Asean tercatat turun.
Kendati tak masuk dalam komponen penilaian, dia menyoroti biaya logistik di Tanah Air yang masih tinggi, yakni 23,5% pada 2017 atau masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean, antara lain Vietnam (15%), Thailand (13,2%), Malaysia (13%), dan Singapura (8,1%).
Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto melihat persoalan konektivitas yang belum memadai membuat performa sistem logistik Indonesia tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan bahkan tersalip oleh Vietnam.
“Sistem logistik harus diperkuat dengan menumbuhkan ekonomi baru dan dengan mengedepankan multimoda sehingga terjadi konektivitas antarwilayah atau daerah.”
Kenaikan performa indeks logistik juga diapresiasi oleh para pelaku usaha di sektor perdagangan.
Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menilai sebagai tulang punggung perdagangan, kinerja logistik yang membaik diyakini mampu menopang daya saing sektor tersebut.
Namun, ke depan, dia berharap pemerintah juga membenahi persoalan biaya logistik yang tinggi.
Adhi S. Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi), menuturkan pelaku usaha makanan dan minuman merasakan perbaikan logistik dalam negeri dalam hal kesiapan pelabuhan dan kepastian berangkat. Akan tetapi, masalah biaya logistik yang tinggi belum juga teratasi.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menilai kenaikan peringkat tersebut masih belum mencerminkan kemudahan berusaha bagi para eksportir.
Bahkan, menurutnya, pengusaha eksportir malah dihadapkan dengan penambahan biaya dari pemberlakuan program penertiban truk yang kelebihan muatan di jalan raya, atau over dimensi dan overload (ODOL). “Jika indeks performa logistik naik, seharusnya itu tercermin pada biaya logistik yang ikut turun.”
Senada dengan GPEI, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, eksportir masih mengalami kendala dari sisi kapasitas pelabuhan, yang berakhir pada peningkatan biaya logistik.
Dia memaparkan, biaya pengiriman dari Tanjung Priok ke Amsterdam bisa mencapai US$1.400 per kontainer, sedangkan dari Singapura ke Amsterdam US$400 per kontainer. Mahalnya biaya logistik ini disebabkan oleh jumlah truk yang meningkat pesat, tetapi pelabuhan sudah mencapai kapasitas maksimum. Dia berharap, pemerintah juga mempercepat pembangunan pelabuhan baru. (Ilham Budhiman/Sri Mas Sari/Anggara Pe rnando/M.Richard/Hadijah Alaydrus/Annisa Sulistyo Rini)