Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Optimis SBI Tak Ganggu SBN

Pemerintah melihat usaha Bank Indonesia (BI) menambah instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai upaya menambah alternatif instrumen investasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution/Ipak Ayu H.N
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution/Ipak Ayu H.N

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah melihat usaha Bank Indonesia (BI) menambah instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai usaha menambah alternatif instrumen investasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan pihaknya melihat instrumen ini guna mengatur likuiditas keuangan dan menahan valuta asing (valas) di dalam negeri.

"Situasi sekarang ini adalah situasi dimana kita boleh memberi ruang untuk pemilik dana [asing] supaya tertarik [berinvestasi], kemudian dicoba oleh BI untuk menyediakan instrumen investasi," ungkap Darmin di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Jumat (20/7/2018).

Darmin mengatakan pemerintah memiliki instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Sedangkan dengan BI mengeluarkan instrumen SBI, maka alternatif investasi akan semakin banyak. 

Dia pun menerangkan instrumen SBI memiliki volatilitas yang tidak terlalu tinggi sehingga dapat turut membantu memelihara likuiditas dengan menahan valas tetap berada di dalam negeri.

Mantan Gubernur BI ini melihat dengan penerbitan SBI ini dapat menambah daya tarik investasi. "Orang yang tadinya mau [investasi] keluar dia pilih SBI," imbuhnya.

Perlu diketahui, saat Darmin menjadi Gubernur BI periode 2010-2013. Ketika menjadi Gubernur BI, Darmin turut meneruskan pengurangan instrumen serupa SBI yang dianggap menjadi penyebab defisit anggaran BI 2009.

Dia mengurangi jumlah SBI yang beredar mulai dari tenor 1 bulan dan dilakukan secara bertahap hingga SBI tenor 6 bulan. Hingga akhir jabatannya, instrumen SBI yang tersisa hanya tenor 9 bulan dengan total outstanding Rp89,29 triliun.

Sejak itu, lelang SBI dihentikan sampai dengan Desember 2016 periode jabatan Agus Martowardojo dan berkomitmen hanya akan turut serta di Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen operasi moneter.

Darmin melanjutkan, melihat situasi saat ini memang kalau SBI yang digunakan di masa lalu tidak selikuid SBI saat ini, sehingga penerbitan kali ini bisa digunakan sebagai instrumen investasi.

Surat Perbendaharaan Negara (SPN)

Di sisi lain, dengan adanya wacana BI menerbitkan SBI, muncul kekhawatiran akan ada persaingan antara pemerintah yang memiliki instrumen surat perbendaharaan negara (SPN). 

SPN adalah Surat Utang Negara (SUN) yang berjangka waktu paling lama 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. SUN adalah surat berharga yang berupa pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran pokok dan bunganya oleh Negara RI sesuai dengan masa berlakunya (SPN atau obligasi).

Wakil Direktur Institute of Development for Economics and Finance Eko Listiyanto, mengungkapkan investor dan perbankan akan cenderung memilih SBI jika benar diterbitkan.

"Saya rasa melihat perkembangannya, BI baru akan pakai itu kalau bener-benar dalam kondisi terdesak. Jadi bagi investor tinggal pilih saja, kalau perbankan pasti cenderung pilih SBI, dari pelaku pasar keuangan juga bisa jadi ke SBI," jelasnya kepada Bisnis.

Menurutnya, investor akan melihat dua hal untuk menentukan pilihan diantara kedua pilihan tersebut, yakni imbal hasil dan fundamental. Menurutnya pelaku pasar akan memperhatikan fundamental perekonomian dalam memilih instrumen SPN, terutama terkait pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan.

Dia melanjutkan, tidak adanya APBN-P 2018 turut mengurangi kredibilitas pemerintah mengelola fiskal. Maka menurutnya investor cenderung memilih SBI yang lebih mudah dan jelas karena fundamental perekonomian Indonesia belum begitu baik. 

"Tidak adanya APBN-P, harga minyak menggerogoti kinerja pertamina, semua terefleksikan, jika SPN melawan SBI, investor akan pilih SBI, kalau selisih imbal hasilnya biasa saja," tegasnya.

Dia juga menilai SBI sebagai senjata pamungkas untuk BI menjaga stabilitas nilai tukar. Menurutnya jika benar diterbitkan, SBI pasti tidak menjadi instrumen mandiri, sehingga pasti ditopang dengan penaikan suku bunga acuan dan operasi pasar keuangan.

Eko pun mengingatkan koordinasi dan waktu penerbitan SBI menjadi kunci agar tidak terjadi tumpang tindih antara kedua instrumen pasar tersebut.

Sementara itu, Direktur Surat Utang Negara (SUN), Kementerian Keuangan, Loto Srinaita Ginting, mengungkapkan pemerintah tidak khawatir dengan munculnya wacana penerbitan SBI oleh Bank Indonesia.

Dia pun mengungkapkan secara karakter SPN dan SBI itu berbeda. Sehingga pihaknya tidak merasa terganggu dengan penerbitan SBI tersebut.

"Setahu saya SBI itu agak berbeda, ada holding periode, sedangkan SPN tidak ada. Ukuran penerbitan SPN juga terbatas, setiap lelang pemerintah tidak bisa menyerap banyak, karena memang pemerintah juga memperhitungkan risiko pengembaliannya, SPN juga jatuh temponya cepat," paparnya.

Loto pun mengaku pihaknya baru mengetahui wacana tersebut setelah rapat dewan gubernur (RDG) BI selesai dilaksanakan, Kamis (19/7/2018). 

Dia melanjutkan, instrumen investasi jangka pendek seperti SPN dan SBI ini kebutuhannya cukup besar. Sehingga menurutnya masing-masing instrumen akan ada pasarnya. 

Pemerintah pun belum ada rencana mengubah target penerbitan SPN. Dia pun masih menargetkan setiap penerbitan SPN mencapai Rp3 triliun. 

Loto pun optimistis dengan diterbitkannya instrumen SBI, investor yang tidak terserap SPN karena keterbatasan jumlah serapan akan memilih SBI. "Bisa saja yang terjadi tidak tertampung di lelang SPN, dia cari di SBI," imbuhnya.

Sementara, Menko Darmin menilai dalam pandangan BI diperlukan instrumen moneter yang lebih banyak. "Jadi situasi ini BI melihat harus ada instrumen lebih banyak, tinggal investor memilih merasa cukup dengan SPN dengan berbagai macam tenor dan imbal hasilnya atau SBI tenor 9 bulan dan 12 bulan, mudah saja," tutupnya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper