Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: Serapan Tenaga Kerja Masih Rendah

Pertumbuhan ekonomi belum bisa memacu penyerapan tenaga kerja. Ekonom menyebut hal ini disebabkan oleh pertumbuhan selama ini belum bersandar pada industri manufaktur yang memiliki daya serap tenaga kerja tinggi.
Ilustrasi/JIBI-Nurul Hidayat
Ilustrasi/JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA—Pertumbuhan ekonomi belum bisa memacu penyerapan tenaga kerja. Ekonom menyebut hal ini disebabkan oleh pertumbuhan selama ini belum bersandar pada industri manufaktur yang memiliki daya serap tenaga kerja tinggi.

Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kontribusi industri terhadap perekonomian justru sedang menurun.  Kemerosotan atau deindustrialisasi ini menurutnya sudah terjadi 10 tahun terakhir.

Sebelumnya, kontribusi industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 26%, kini jumlah tersebut menurun menjadi hanya 20%. “Kalau deindustrialisasi ini dibiarkan, maka serapan tenaga kerja secara nasional bisa kurang optimal,” tuturnya sebagaimana dikutip dari siaran pers, Selasa (26/6/2018).

Dia mengatakan, selama bertahun-tahun Indonesia terus mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada berbagai sektor yang serapan tenaga kerjanya rendah seperti sektor jasa.  Masalah lain yang juga dihadapi adalah, sebaran usaha sektor jasa yang terlalu terkonsentrasi di perkotaan.

“Padahal, lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di perdesaan,” ujarnya.

Dia mengatakan, idealnya industri manufaktur menjadi sektor andalan yang ditunjang oleh sektor lainnya seperti sektor jasa, pertanian, dan investasi. Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan perlu menyatukan pandangan dan upaya untuk mengembalikan sektor industri sebagai motor pembangunan.

Di Batam, contohnya, setiap tahun, setidaknya satu pabrik berhenti beroperasi di berbagai kawasan industri. Kemerosotan juga terlihat pada sektor galangan kapal. Dari 110 galangan dengan 250.000 tenaga kerja pada 2014, kini hanya lima galangan yang masih aktif dengan total di bawah 22.000 orang.

Industri rokok juga dapat menjadi contoh nyata lainnya. Dia menuturukan, dalam periode 2006-2016, 3.195 pabrik rokok tutup dan sedikitnya 32.729 pekerja pabrik rokok dipecat. Hampir seluruh pekerja yang diberhentikan merupakan pelinting atau pekerja sigaret kretek tangan (SKT).

Bhima menyebutkan, pemerintah seharusnya memberi insentif pada industri penyerap tenaga kerja. Kebijakan afirmatif itu dapat dilakukan melalui penerapan pajak, cukai, dan retribusi yang berbeda dibandingkan sektor lain dengan daya serap tenaga kerja rendah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper