Bisnis.com, JAKARTA — Pada Selasa (15/5/2018), kapal CMA CGM Tage melakukan pelayaran langsung (direct call) dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Los Angeles, Amerika Serikat. Kapal berkapasitas 10.000 TEUs itu membongkar 1.905 TEUs dan memuat 2.385 TEUs. Direct call itu mampu menghemat biaya sekitar 20% atau US$300 per kontainer 20 feet. Waktu yang dibutuhkan juga berkurang dari 31 hari karena transit menjadi 23 hari.
Persinggahan langsung kapal berkapasitas besar di Pelabuhan Tanjung Priok tersebut sangat penting bagi perekonomian nasional karena persentase volume ekspor dan impor Indonesia terbesar melalui pelabuhan itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari lima pelabuhan utama Indonesia (Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, dan Makassar), ekspor terbesar pada 2017 melalui Pelabuhan Tanjung Priok dengan persentase volume 43,91% dan nilai 61,0%.
Pada tahun itu, impor terbesar juga melalui pelabuhan itu dengan persentase volume 55,45% dan nilai 71,8%. Industri mendapatkan manfaat dari penurunan biaya dan waktu pengiriman.
Penghematan biaya pengiriman 20% per kontainer akan berpengaruh positif terhadap biaya logistik perusahaan. Pengurangan lead time sebanyak 25,8% dari 31 hari menjadi 23 hari memberikan peluang bagi perusahaan untuk bisa menurunkan tingkat persediaan sebanyak 8 hari.
Pada banyak perusahaan, biaya transportasi dan biaya persediaan merupakan komponen terbesar biaya logistik, sehingga penurunan kedua komponen biaya tersebut akan berkontribusi positif dalam daya saing produk perusahaan.
Harga produk yang lebih murah relatif akan meningkatkan daya beli masyarakat yang berarti pula meningkatkan kesejahteraan.
Selanjutnya, peningkatan volume ekspor akan mendorong direct call kapal-kapal berkapasitas besar ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Kapal kontainer raksasa mau melakukan direct call jika volume muatan di pelabuhan tinggi, sehingga memenuhi kapasitas minimal kapal.
Hal ini menjadi masalah karena volume muatan tersebar di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Perlu dilakukan perbaikan struktur kepelabuhanan nasional, mencakup penentuan pengumpul dan pengumpan dan rute transportasi laut, sehingga muatan dapat terkonsolidasi secara efektif dan efisien.
Untuk setiap pelabuhan hub internasional, perlu ditetapkan pelabuhan-pelabuhan feeder-nya berdasarkan pemetaan origin-destination barang atau komoditas.
Selain harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, pelabuhan hub internasional dan pelabuhan feeder-nya harus terintegrasi dengan sistem operasional yang terstandardisasi dan sistem informasi yang handal.
Perubahan struktur kepelabuhanan ini memerlukan pemahaman dan komitmen yang sangat kuat dari semua pihak. Dengan perubahan itu, sejumlah pelabuhan yang pada saat ini menjadi pintu ekspor-impor harus menjadi feeder pelabuhan yang ditetapkan sebagai hub internasional Indonesia.
Namun, perubahan sebenarnya hanya dari semula sebagai feeder pelabuhan Singapura, misalnya, menjadi feeder pelabuhan hub internasional Indonesia. Jadi, peranannya tetap sama.
AKSESIBILITAS PELABUHAN
Menurut Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), biaya pelayaran relatif terus mengalami penurunan terutama karena penggunaan kapal yang berkapasitas semakin besar sehingga ekonomi skala semakin baik. Biaya pelayaran itu sekitar 19% dari keseluruhan biaya pengiriman barang dari shipper ke consignee.
Komponen biaya yang tinggi justru pada biaya kepelabuhanan (di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar) sekitar 31% dan biaya transportasi darat (total) sekitar 50%. Di samping tingkat kemacetan transportasi jalan di Indonesia yang tinggi, kapasitas angkut per armada rendah, sehingga transportasi jalan merupakan moda yang paling mahal di bawah transportasi udara.
Moda kereta api (KA) menjadi salah satu alternatif penting pengalihan sebagian volume pengangkutan barang antara wilayah asal atau tujuan pengiriman dan pelabuhan, termasuk Pelabuhan Tanjung Priok.
Berdasarkan analisis Supply Chain Indonesia (SCI), sebaran volume ekspor melalui Pelabuhan Tanjung Priok berasal dari: Cilegon & Serang (8%), Tangerang (14%), Bogor (4%), Bekasi (32%), Karawang (29%), Purwakarta (8%), dan Bandung (6%).
Sementara itu, sebaran volume impor berasal dari: Cilegon & Serang (3%), Tangerang (14%), Bogor (10%), Bekasi (23%), Karawang (36%), Purwakarta (9%), dan Bandung (6%). Di lain sisi, telah tersedia container yard (CY) KA di beberapa lokasi di wilayah-wilayah itu. Untuk wilayah barat Jakart, terdapat dua CY di Cilegon yang dikelola PT BCS dan PT KBS masing-masing. Untuk wilayah timur Jakarta, terdapat CY di Cikarang (CDP), Klari, dan Cibungur, serta Bandung.
Selain itu, terdapat CY di Semarang, Surabaya, dan Jember yang berpotensi untuk dimanfaatkan pula.
Upaya peningkatan penggunaan KA barang memerlukan pendekatan dengan perusahaan-perusahaan pemilik barang di sekitar lokasi CY. Selain itu, diperlukan sinergi antara PT Kereta Api Indonesia dengan perusahaan pengelola CY (untuk proses lift-on lift-off) dan perusahaan trucking (untuk proses feeder dan dooring).
Alternatif aksesibilitas antara pelabuhan dan hinterland-nya dengan moda transportasi lain juga perlu dikembangkan Misalnya inland waterways “Cikarang Bekasi Laut (CBL)” yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi jalur kanal sungai sebagai alternatif transportasi. Pada saat ini sebagian besar volume ekspor-impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok karena sebagian besar industri masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah sekitar Pelabuhan itu.
Dengan memperhatikan hal ini maka peran Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub internasional cukup tepat. Namun, keberadaan pelabuhan hub diharapkan dapat meningkatkan pemerataan distribusi perekonomian Indonesia yang belum merata. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2017 distribusi perekonomian terbesar di Pulau Jawa (58,49%), diikuti Sumatra (21,66%), Kalimantan (8,20%), Sulawesi (6,11%), Nusa Tenggara (3,11%), dan Papua (2,43%).
Walaupun tingkat pertumbuhan terbesar di Sulawesi (6,99%) lebih tinggi daripada Pulau Jawa (5,61%), namun tingkat pertumbuhan wilayahwilayah lainnya relatif rendah: Papua (4,89%), Kalimantan (4,33%), Sumatera (4,30%), dan Nusa Tenggara (3,73%).
Oleh karena itu, diperlukan pelabuhan lain sebagai hub selain Pelabuhan Tanjung Priok. Selain dengan mempertimbangkan wilayah Indonesia yang sangat luas, posisi Pelabuhan Tanjung Priok di wilayah dalam membuat pelabuhan itu pengiriman kurang efisien bagi wilayah-wilayah lainnya.
Pemerintah perlu meneruskan dan mengintensifkan realisasi rencana Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional. Keberadaan Pelabuhan Kuala Tanjung di bagian barat Indonesia dan Pelabuhan Bitung di bagian timur Indonesia berpotensi besar memacu pertumbuhan ekonomi di masingmasing wilayah itu.
*) Penulis adalah Chairman Supply Chain Indonesia
**) Tulisan dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Selasa 22 Mei 2018