Bisnis.com, JAKARTA — Setelah 20 tahun reformasi, Indonesia masih menghadapi beragam problem struktural perekonomian, termasuk neraca transaksi berjalan yang mencatat defisit.
Itulah headline koran Bisnis Indonesia edisi Senin 21 Mei 2018. Berikut laporan selengkapnya.
Selain persoalan transaksi berjalan, problem struktural lainnya adalah pembangunan manusia, peningkatan kualitas tenaga kerja, serta koordinasi pusat dengan daerah dan antardaerah.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menuturkan setelah reformasi, RI mampu menjawab sejumlah problem, mulai dari utang luar negeri dan swasta yang terdata dengan baik, pengelolaan fiskal secara hati-hati dan transparan, hingga kebijakan moneter oleh bank sentral yang independen.
Hanya saja, masih ada problem yang urung terselesaikan, yakni neraca transaksi berjalan yang masih defisit. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sejauh ini hanya berhasil dikendalikan di bawah 3% PDB.
Kondisi ini berbeda dengan Thailand dan Malaysia yang telah berbalik dari defisit menjadi surplus. “Akibatnya, setiap pertumbuhan ekonomi mulai bangkit, kebutuhan impor melonjak,” ujar Mirza. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui ekonomi Indonesia masih belum terdiversifikasi dan masih didominasi oleh komoditas.
Di sisi lain, sektor keuangan masih belum berkembang secara dalam (financial deepening) dan maju. Sektor keuangan yang dangkal menyebabkan ekonomi Indonesia mudah mendapatkan tekanan gejolak global.
Sebagai konsekuensinya, external balance Indonesia masih terus perlu diperkuat, sehingga memungkinkan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi dan cepat secara inklusif dan tidak terkendala dari segi neraca pembayaran.
“Kami akan menggunakan instrumen kebijakan baik fiskal dan kebijakan kementerian teknis lain untuk makin aktif mengatasi masalah struktural ini,” tutur Sri Mulyani.
Mari Elka Pangestu, Board of Trustees dari Centre for Strategic International Studies (CSIS), mengungkapkan peningkatan daya saing produk nasional, baik itu barang maupun jasa, merupakan salah satu kunci untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan.
“Antisipasinya tidak bisa lagi business as usual, sudah tidak bisa lagi fokusnya hanya per sektor. Banyak hal yang bersifat lintas sektor.”
Peningkatan daya saing produk nasional, lanjutnya, juga harus mempertimbangkan konteks perubahan persaingan dagang dan perubahan teknologi di dunia.
Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai defisit transaksi berjalan merupakan gambaran dari ketergantungan suatu negara terhadap pihak luar.
Ekonom UGM Tony Prasetiantono menilai hingga saat ini permasalahan yang dihadapi masih sama, yakni surplus ekspor yang lemah dan tingginya intensitas hot money dalam komponen cadangan devisa. “Hal-hal tersebut membuat rupiah kita menjadi rentan.”
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Apindo Bidang Hubungan Internasional dan Investasi, menilai pengelolaan ekonomi di Tanah Air pascareformasi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional, tetapi harus menggunakan pendekatan lintas sektoral dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing.