Bisnis.com, JAKARTA—Para pelaku industri makanan minuman (mamin) bersiap-siap menaikkan harga jual di tingkat konsumen setelah Lebaran, sebagai dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang tak kunjung terbendung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman menjelaskan apresiasi dolar AS terhadap rupiah berimplikasi langsung pada kenaikan biaya impor bahan baku dan produk jadi mamin. Apalagi, rupiah menembus di atas Rp14.000/dolar AS.
Kondisi itu membuat pengusaha sulit menentukan sikap. Mereka menghadapi kenaikan biaya produksi, tetapi juga dihadapkan pada target mendongkrak daya beli saat memasuki Ramadan dan Idulfitri sebesar 15% dibandingkan bulan biasa.
“Kalau [depresiasi rupiah] ini terus [melesat] di atas Rp14.000/dolar AS sampai Lebaran, kami akan pertimbangkan harga baru. Namun, kami akan bertahan dulu sampai Lebaran,” ujarnya saat dihubungi belum lama ini.
Dia menuturkan industri mamin mengalami peningkatan biaya produksi yang berbeda-beda. Jika bahan baku produk lebih banyak impor, maka biaya yang harus dirogoh juga semakin banyak.
Perusahaan terigu dan gula rafinasi, yang 100% bahan bakunya diimpor, harus mengalami tekanan paling berat pada biaya produksi. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan domestik, satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan adalah dengan mengimpor.
Adhi berkata jika pelemahan rupiah ini menyebabkan kenaikan harga beli bahan baku sebesar 5%, harga mamin di tingkat konsumen akan naik 3% dari normal. Hal ini disebabkan karena tidak seluruh industri mamin menggunakan komponen bahan baku impor.
Dia berharap pemerintah segera meningkatkan ekspor agar devisa bisa kembali positif. Upaya ini adalah salah satu cara yang dianggap efektif menahan laju pelemahan rupiah. Apalagi, kata Adhi, saat ini cadangan devisa pemerintah masih di atas US$100 miliar.
Selain itu, Gapmmi meminta pemerintah mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri. Dia menilai pemerintah perlu memperkuat regulasi yang memudahkan ekspor guna merampingkan defisit negara.
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (Apidmi) Agoes Silaban mengaku penyesuaian harga di tingkat konsumen untuk produk minuman impor akan dilakukan seusai Lebaran jika kondisi rupiah tak kunjung stabil.
“Potensi kenaikan harga [di tingkat produsen] beragam antara 10%-20%. Itu belum termasuk kenaikan harga berjenjang mulai dari tingkat importir, distributor, subdistributor, hingga hotel, restoran, atau tempat karaoke. Potensi kenaikan harganya akan terjadi mulai dari produk wine sampai whiskey.”
Senada dengan Gapmmi, dia meminta pemerintah dapat segera bertindak untuk menekan pergerakan rupiah kembali ke level Rp13.000/dolar AS. Salah satunya adalah dengan meningkatkan ekspor nonmigas.