Bisnis.com, DENPASAR - Perusahan luar negeri yang kerap mengimpor produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika rupanya kian tertarik untuk mengikuti pelatihan mengenai sistem jaminan halal di Indonesia.
Kepala Indonesia Halal Training and Education Center (IHATEC) Nur Wahid mengatakan sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, kebutuhan produk dengan jaminan halal sangat tinggi di Indonesia.
Ia menyebut total populasi penduduk Indonesia adalah sebanyak 250 juta jiwa dengan 90% beragama muslim. Artinya, sebagai negara dengan komunitas muslim terbanyak, jaminan halal menjadi isu yang sensitif di Indonesia.
Namun, masih banyak perusahan yang memproduksi barang konsumsi belum paham betul mengenai kriteria jaminan halal di Indonesia. Nur Wahid mengungkap jaminan halal di masing-masing negara memiliki kriteria dan standar berbeda.
Setidaknya ada 11 kriteria yang harus dipenuhi perusahaan yang akan menjajakan barang di Indonesia.
Kriteria tersebut meliputi perusahaan memiliki kebijakan halal, tim manajemen pengelola kebijakan halal, melakukan pelatihan dan pendidikan mengenai konsep halal, memiliki kriteria tentang bahan halal dan non halal, mengetahui kriteria produk yang bisa dan tidak bisa disertifikasi, kemudian memiliki fasilitas yang bebas dari hal yang mencemari kehalalan.
Selanjutnya, memiliki kriteria prosedur tertulis untuk aktivitas produksi dalam keadaan kritis, memiliki sistem ketertelusuran, prosedur menangani produk yang tidak halal, memiliki tim audit internal untuk melakukan evaluasi evaluasi minimal enam bulan sekali, dan memiliki tinjauan manajemen.
“Kita juga memberikan pemahaman bahan misalnya kalau menggunakan lemak apa syarat-syaratnya dan dokumen yang harus dimiliki, atau menggunakan MSG atau fermentasi persyaratan produknya apa,” katanya kepada Bisnis, Kamis (19/4/2018).
Dia mengakui, selama ini proses sertifikasi jaminan halal di Indonesia bersifat sukarela. Namun, sejak 2014, dikeluarkan Undang Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki jaminan halal. Undang-Undang ini akan berlaku pada 2019.
Adapun saat ini, kebutuhan jaminan halal tertinggi ada di produk pangan. Walaupun demikian, dia tidak menampik kebutuhan jaminan halal pada produk obat-obatan dan kosmetik akan sangat diperlukan nantinya. Apalagi, UU JPH akan segera direalisais pada 2019.
“Kelak, jika undang-undang [jaminan halal] ini berlaku, produk pilihannya hanya ada dua yakni halal dan non halal, kalau sekarang kan masih ada 3 yaitu halal, non halal, dan tidak jelas,” katanya.
Lantaran kondisi ini, Indonesia Halal Training dan Education Center menggandeng Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia menggelar Pelatihan Internasional Sistem Jaminan Halal di Nusa Dua, Bali (18-20 April). Pelatihan ini diikuti 102 peserta dari 65 perusahaan yang berasal dari 15 negara yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Singapore, Japan, China. India, Indonesia, Inggris, Spanyol, Prancis, Australia, Amerika Serikat, dan Argentina.
Jumlah peserta training pada tahun ketiga ini semakin banyak. Biasanya, jumlah pesertanya hanya sekitar 80 orang. Namun, dengan jumlah hingga 102 peserta, mencirikan perusahaan luar negeri begitu tertarik untuk mendapatkan pengetahuan menegenai sertifikasi jaminan halal.
Bahkan, kata dia, 20% dari peserta berasal dari perusahaan yang belum pernah menjajakan barang Ke Indonesia. Selain itu, negara-negara yang tertarik juga semakin bervariasi. Tahun pertama dan kedua sebagian besar diikuti peserta dari India, Malaysia, Thailand serta Jepang.
Saat ini beberapa negara seperti Argentina dan Spanyol juga tertarik menjadi peserta. Peserta training banyak juga dari produsen kosmetik, yang mulai mencari tahu jaminan halal karena kebutuhan masyarakat yang meningkat.
Hal yang cukup unik dari pelatihan tahun ketiga ini yakni adanya penandatanganan kerja sama pelatihan halal oleh Indonesia Halal Training dan Education Center dengan Yano Research Institute untuk meningkatkan sosialisasi halal di Jepang.
Perusahaan-perusahan di Jepang cukup tertarik untuk mempelajari jaminan sertififikat halal Indonesia. Mereka sendiri menginginkan adanya pelatihan serupa yang diadakan langsung di Jepang dengan menggunakan bahasa yang mereka punya.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUl) Lukmanul Hakim mengatakan para peserta diberikan pelatihan tentang sistem jaminan halal selama 3 hari. “Pelatihan ini untuk memberikan informasi kepada perusahaan tentang bagaimana menjalankan sistem jaminan halal di masing-masing perusahaan,” katanya.
Perusahaan yang bersungguh-sungguh menerapkan standar halal secara komprehensif dan sistem jaminan halal dikatakan telah menjaga dan memelihara secara simultan seluruh proses produksi sampai ke tangan konsumen sesuai standar halal yang telah ditetapkan.
Nur Wahid menambahkan IHATEC akan memperluas pelatihan tentang sistem jaminan halal layanan jasa wisata dengan menggandeng Dewan Syariah Nasional MUI yang bermitra dengan Kementerian Pariwisata. “Banyak negara yang berminta mengikuti pelatihan sistem jaminan halal untuk jasa pariwisata seperti layanan tamu di hotel, masakan di restoran, dan terkait fasilitas wisata halal lainnya,” ujarnya.
Sistem jaminan halal menjadi salah satu kebutuhan negara-negara yang ingin meraup kunjungan wisatawan muslim. Mastercard-Halal Trip Muslim Millennial Travel Report (MMTR) merilis data bahwa pada 2025 total pengeluaran wisatawan muslim milenial di tingkat global akan menyentuh angka US$100 miliar.
Destinasi wisata muslim yang diprediksi menjadi primadona sebagian besar anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI), antara lain Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Oman, Iran,Turki, Mesir, Malaysia, Kazakstan hingga Indonesia yang tercatat sebagai negara dengan populasi muslim tertinggi di dunia.
Survei tahun lalu itu mencatat sekitar 1 miliar muslim yang berusia di bawah 30 tahun. Jumlah ini merepresentasikan 60% dari populasi negara dengan mayoritas muslim yang potensial untuk digarap.