Bisnis.com, JAKARTA – Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menerbitkan rekomendasi impor garam industri kembali dipermasalahkan.
Kendati otoritas pemberi rekomendasi telah beralih dari KKP ke Kementerian Perindustrian lewat PP No. 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, tetapi produk hukum tersebut dianggap tidak selaras dengan aturan yang lebih tinggi.
Pasalnya, UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam masih mencantumkan norma kewenangan KKP atas rekomendasi semua jenis garam.
Secara hukum, kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti itu memberikan rekomendasi izin impor garam konsumsi maupun garam industri.
Mengingat ketidakpastian hukum tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Poros Maritim Indonesia (Geomaritim) mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 37 ayat (3) UU 7/2016 ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal tersebut menyatakan “impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman” lewat Menteri Perdagangan harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Kami memohon agar frasa ‘komoditas perikanan dan komoditas pergaraman’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘komoditas perikanan dan komoditas pergaraman selain yang digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri,” kata Geomaritim dalam berkas permohonannya yang dikutip, Selasa (10/4/2018).
Penggugat merasakan adanya ambivalensi atas kewenangan KKP dan Kemenperin akibat eksistensi Pasal 37 ayat (3) UU 7/2016. Menurut Geomaritim, Kemenperin diberikan mandat oleh UU No. 3/2014 tentang Perindustrian untuk menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam bagi kepentingan industri dalam negeri. Alhasil, status UU 7/2016 sebagailex specialis dalam kebijakan tata niaga impor garam dianggap tidak tepat.
Tabrakan dua payung hukum tersebut kemudian justru melahirkan PP 9/2018 sebagai jalan keluar untuk mengatasi krisis garam industri. Namun, Geomaritim berpendapat terjadi ketidakselarasan norma bila frasa ‘komoditas perikanan dan komoditas pergaraman’ dalam UU 7/2016 dipertahankan.
“Untuk menjamin adanya harmonisasi norma dan kepastian hukum maka perlu adanya interpretasi restriktif yang bersifat membatasi komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang berdasarkan peruntukannya,” ujar pemohon.
Perkara pengujian Pasal 37 ayat (3) UU 7/2016 telah teregistrasi di MK dengan No. 32/PUU-XVI/2018. Selanjutnya, MK akan menggelar sidang pendahuluan untuk memeriksa berkas perkara tersebut.