Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menanggapi usulan mengenai pemangkasan tarif pajak bunga obligasi. Bagi otoritas pajak, jika usulan disampaikan, tentunya akan dibahas di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Meski demikian, pemangkasan tarif tersebut sebenarnya bukan persoalan mendesak, karena meski tarif secara umum adalah 20%, bagi negara yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty dengan Indonesia yang jumlahnya lebih dari 60 negara, investor dari corporate bond tetap bisa menikmati pajak bunga sebesar 5%-10%.
"Sebagian besar yang memiliki perjanjian pajak dengan kita 10% rata-rata, tetapi ada juga yang 5%," kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak, Kamis (22/3/2018).
Yoga menjelaskan, dalam ketentuan perpajakan, pajak bunga obligasi dibayar oleh investor, sehingga bukan lagi tanggungan dari perusahaan penerbit obligasi. Apalagi untuk investor dari Jepang, Amerika Serikat, maupun China yang sudah pasti mengetahui mekanisme pemajakan tersebut.
"Jadi pajak tersebut memang dipotong dari bunganya yang dibayarkan karena memang itu merupakan pajaknya penerima bunga tersebut. Sehingga pajak tersebut bukan menjadi tanggungan penerbit obligasi," jelasnya.
Pajak bunga obligasi diatur dalam PPh Pasal 26. PPh pasal 26 adalah PPh yang dipotong atas penghasilan uang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) bisa berupa bunga, royalti, atau dividen. Pemotong PPh ini bisa berasal dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, hingga perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.