Bisnis.com, JAKARTA-- Rencana pembatasan tarif batas bawah angkutan udara masih menuai polemik.
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit mengaku dirinya tak setuju dengan adanya rencana tersebut.
"Menurut saya, mahal atau murah tergantung model bisnis yang digunakan. Saya termasuk yang kurang sependapat soal pembatasan tarif," kata Danang kepada Bisnis, Jumat (9/2/2018).
Menurut Danang, justru yang perlu dikontrol oleh pemerintah adalah standar keselamat dan pelayanan. Hal ini dimaksudkan supaya ada inovasi di sisi operator.
Kata Danang, idealnya semua operator harus bisa diakses laporan keuangannya, juga harus memaparkan business model-nya sehingga dari sisi regulator tahu bahwa tidak ada keselamatan yang dikorbankan.
"Selain itu perkuat unit safety inspection juga ramp check," ujar Danang.
Baca Juga
Justru yang perlu dikontrol oleh pemerintah adalah standar keselamat dan pelayanan. Hal ini dimaksudkan supaya ada inovasi di sisi operator.
Sementara menurut akademisi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, tarif batas bawah harus ditingkatkan sehingga margin pun turut terkerek.
"Tarif rendah harus dinaikkan, agar margin bisa nambah, pelayanan makin baik dan keselamatan lebih terjamin. Kalau bisa capai minimal Rp250.000 per jam terbang sudah cukup bagus, kisaran Rp250.000 - Rp 300.000 per jam terbang," katanya kepada Bisnis, Jumat.
Menurut Djoko, dengan naiknya tarif batas bawah pesawat, hal itu juga akan berdampak pada jaminan keselamatan penumpang. "Mestinya lebih terjamin [keselamatan] dan lebih nyaman lagi."
Dalam pemberitaan sebelumnya, Asosiasi Perawatan Pesawat Indonesia (Indonesia Aircraft Maintenance Services Association/IAMSA) kembali mengusulkan penaikan tarif batas bawah tiket pesawat terbang.
Ketua IAMSA Richard Budihadianto mengklaim tarif tiket pesawat terbang di Indonesia merupakan yang paling murah di dunia. Bahkan, pendapatan yang diraup maskapai bisa hanya sekitar Rp200.000 per jam terbang.
Dia menambahkan biaya operasi langsung (direct operating cost/DOC) pesawat cukup besar. Belum termasuk dengan biaya perawatan maupun bahan bakar pesawat.
Richard menuturkan harga minyak mentah yang saat ini naik hingga US$65 per barrel dinilai tetap membebani pihak maskapai. Biaya bahan bakar yang dikeluarkan maskapai bisa mencapai miliaran rupiah per hari.
Pihak maskapai memerlukan penaikan tersebut guna menopang biaya operasional. Terlebih pada saat low season, biasanya terjadi perang tarif antarmaskapai.
"Sekarang saat low season, harga tiket bisa di bawah harga pasar. Padahal maskapai selalu mengutamakan aspek keselamatan melalui perawatan pesawat," ujarnya.