Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 5,07% pada tahun lalu merupakan gambaran bahwa masih banyaknya persoalan makroekonomi yang belum terselesaikan.
Hasil evaluasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan ada tujuh persoalan yang mendasar dan krusial yang pemerintah belum dapat selesaikan.
Pertama, tumbuhnya ekspor Indonesia tidak tidak dibarengi dengan peningkatan industri, pertumbuhannya hanya karena lonjakan harga komoditas.
Kinerja ekspor masih sangat tergantung pada bahan mentah, di mana sudah seharusnya barang ekspor merupakan hasil dari proses industri.
Selain itu, akhir-akhir ini Indonesia juga menghadapi isu pelarangan ekspor komoditas dari berbagai negara, yang menyebabkan tekanan terhadap ekspor tahun ini.
"Terlalu banyak mengekspor barang komoditas, memang jangka panjangnya adalah banned dari negara-negara tujuan, iya seperti isu di Eropa [tentang CPO], Afrika, dan beberapa negara Asia Selatan," jelas Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus, Rabu (7/2).
Kedua, Indonesia terlalu bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. Hal tersebut menggambarkan ketidakmandiriannya ekonomi Indonesia.
Pemerintah juga sering sekali memilih impor sebagai strategi pemenuhan kebutuhan dasar seperti beras, bawang, bahkan garam.
Ketiga, Industri mengalami stunning karena kurangnya insentif dan lingkungan pasar yang tidak mendukung.
"Insentif yang tepat dari pemerintah itu kurang dan pasar Indonesia dipenuhi barang impor, jadi sulit industri untuk berkembang," kata Ekonom Indef Eko Listiyanto.
Adapun, pertumbuhan industri pengolahan hanya 4,27%, atau berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 5,07%. "Maka wajar jika seandainya ada yang mengatakan deindustrialisasi," kata ekonom Indef Andry Satrio.
Padahal, seperti diketahui, industri manufaktur sangat berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja.
Keempat, optimisme bisnis dan konsumen yang cenderung lesu pada kuartal IV/2017.
Indeks tendensi bisnis (ITB) pada kuartal IV/2017 tercatat 111,02, atau turun dari kuartal sebelumnya 112,39. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya penurunan penggunaan kapasitas usaha dan rata-rata jumlah kerja.
Bahkan ITB diperkirakan akan turun kembali pada kuartal pertama tahun ini menjadi 108,6.
Indeks Tendensi Konsumen (ITK) juga mengalami penurunan pada kuartal IV/2017 ke level 107, atau turun dari kuartal sebelumnya 109,42. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendapatan dan pengaruh inflasi terhadap konsumsi.
Bahkan ITK juga diperkirakan akan turun kembali pada kuartal pertama tahun ini menjadi 101,35.
Kelima, iklim investasi yang baik belum mampu mendorong realisasi investasi yang signifikan.
"Padahal Indonesia sudah hattrick tahun kemarin dapat EoDB, investment grade, perbaikan rating daya saing, tetapi investasi tidak naik signifikan," kata direktur Indef Enny Sri Hartati.
Keenam, penyerapan anggaran pemerintah perlu diperbaiki walaupun kontribusi konsumsi pemerintah terhadap PDB tidak relatif besar, yakni 9,1%.
"Penyerapan anggaran pemerintah sering tidak menentu, biasanya anggaran itu menumpuk pada akhir tahun, jadi tidak efektif, jika di negara lain, penyerapannya stabil dan bisa rata," kata Eko.
Ketujuh, dana transfer daerah yang diterima tidak dikelola dengan baik, dan sering sekali diendapkan oleh pemerintah daerah.
Adapun hingga akhir September 2017, dana nilik pemda yang diperbankan mencapai Rp226,6 triliun.