Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyoroti pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 yang hanya 5,07% karena pertumbuhan konsumsi masyarakat yang sebelumnya sudah tercermin dalam realisasi kredit perbankan.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, pertumbuhan konsumsi rendah atau di bawah 5% mengindikasikan dua kemungkinan.
Pertama, masyarakat kurang bergairah belanja, sebagai respons terhadap ketidakpastian perekonomian global yang juga mencekam perekonomian nasional. Kedua, terjadi shifting ke industri leisure yakni orang rela mengurangi belanja mobil, sepeda motor, atau rumah, demi 'menikmati hidup' dengan jalan-jalan dan berwisata termasuk membeli gawai atau yang lainnya.
"Data melemahnya pertumbuhan konsumsi sejalan dengan data pertumbuhan kredit perbankan yang hanya 8,3%. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6% apalagi 7%, sebab diperlukan pertumbuhan kredit double digit misalnya 12%-14%," katanya, Senin (5/2/2018).
Tony mengemukakan meski demikian, data ekspor dan investasi merupakan berita baik. Hal ini diharapkan pada putaran berikutnya dapat mendorong daya beli pada periode berikutnya.
Kenaikan investasi pada 2017 bisa menjadi motor penggerak konsumsi pada 2018. Dengan kata lain, ada harapan pertumbuhan konsumsi 2018 akan kembali ke level normal di atas 5%.
Adapun tren investasi yang naik sebaliknya pertumbuhan konsumsi melambat merupakan hal yang baru di Indonesia.
Tony menilai biasanya konsumsi (C) selalu mendominasi, sedangkan investasi (I) kurang giat. Fenomena ini bisa dimaknai positif karena Indonesia mulai dianggap sebagai venue yang menarik bagi investor.
"Lajunya investasi merupakan fondasi penting bagi lonjakan konsumsi di kemudian hari," katanya.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017 meleset dari target pemerintah yang ditetapkan dalam APBN-P 2017 sebesar 5,2%. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi 2017 hanya 5,07%.