Bisnis.com, JAKARTA—. Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri menilai, pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap menjadi persoalan di Indonesia. Namun, dia mengakui keputusan tersebut tak dapat dihindari dalam iklim bisnis yang berubah dan mengikuti perkembangan teknologi.
“Kadangkala PHK tidak bisa dihindari, apalagi dengan adanya digitalisasi, sehingga harus ada skema yang menjadi bantalan agar para pekerja itu bisa melanjutkan karirnya ketika ada PHK,” jelasnya di Gedung Parlemen, Senin (22/01).
Dia menerangkan, kedua kebijakan sosial yang tengah dikaji adalah skema pendanaan pelatihan atau skill development fund, dan tunjangan PHK atau unemployement benefit. Melalui skema pendanaan pelatihan, pemerintah menjanjikan adanya pelatihan bagi para pekerja korban PHK, baik itu pelatihan menambah keterampilan yang lama (upskilling) atau berganti keterampilan (reskilling).
Sementara melalui tunjangan PHK, pemerintah akan menyediakan tunjangan bagi keluarga korban PHK selama pekerja mengikuti program pelatihan, hingga mendapatkan pekerjaan baru. Dengan kombinasi kedua kebijakan tersebut, diharapkan pekerja yang melalui PHK berhasil mendapatkan pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih besar karena sudah melalui pelatihan.
Mengenai pendanannya, Menteri Hanif mengaku masih melakukan kajian, apakah memerlukan intervensi APBN atau menggandeng pihak lain seperti BPJS Ketenagakerjaan. Namun dia membandingkan di negara maju seperti Amerika Serikat yang telah menerapkan skema ini, maka pendanaan yang diberlakukan adalah sistem iuran per bulan yang dipotong dari gaji karyawan selama ia bekerja.
“Soal potongannya [iuran] memang harus diletakkan dalam satu perspektif yang komprehensif. Jangan sampai kebijakan baru ini menjadi beban baru, mungkin kita harus lihat lagi secara keseluruhan. Makanya kita mengkajinya sangat hati-hati,” ungkapnya.
Pihaknya pun belum dapat memastikan waktu pelaksanaan kebijakan sosial ini. Pasalnya, pemerintah masih harus menuntaskan kajian mengenai skema pendaananya, dan harus mendapatkan persertujuan dari DPR. Namun dia optimistis kebijakan baru ini dapat menjadi salah satu solusi peningkatan kompetensi tenaga kerja di Indonesia dalam jangka panjang.
Kemenaker mencatat sepanjang 2017, terdapat 9.822 pekerja yang di-PHK. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya sebanyak 12.274 pekerja. Meski demikian, terdapat peningkatan jumlah kasus mencapai 2.345 kasus sementara di tahun 2016 hanya ada 1.599 kasus.
Kemenaker juga mencatat beragam alasan PHK, antara lain memasuki masa pensiun, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), kerja kontrak dan alasan penetapan. Dari alasan tersebut, jumlah kasus terbanyak karena memasuki masa pensiun sebanyak 178 kasus di seluruh Indonesia, diikuti alasan PKWT sebanyak 583 kasus, outsourcing atau kerja kontrak sebanyak 550 kasus, dan alasan penetapan 88 kasus.