Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) meminta tanggung jawab manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) atas peti kemas impor yang terpaksa tidak bisa langsung delivery atau dikeluarkan dari pelabuhan sejak awal bulan ini sampai dengan sekarang.
Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, Subandi mengatakan pelambatan produktivitas layanan JICT itu membuat pihak consignee/impotir mengalami kerugian yang tidak sedikit yang berasal dari biaya storage yang terkena penalti dan biaya penggunaan keterlambatan peti kemas atau demurrage.
"Apa yang akan diberikan JICT kepada importir yang barangnya enggak bisa dikeluarkan dan terkena tarif storage progresif. Bahkan terancam kena demurrage kontainer akibat amburadul serta lambatnya pelayanan di terminal JICT," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (10/1/2018).
Subandi mengatakan biaya tambahan untuk storage jika sudah melewati batas waktu penumpukan dikenakan Rp300.000 per boks/hari untuk ukuran peti kemas 20 feet, dan untuk ukuran 40 feet dikenakan 600 ribu per boks/hari.
Adapun biaya demurrage, mencapai rata-rata US$60 per boks/ hari untuk peti kemas 20 feet dan US$100 per boks/hari untuk ukuran 40 feet.
"Ada ratusan bahkan mungkin ribuan kontener yang mengalami kelambatan proses delvery sejak awal bulan ini.Bisa dibayangkan berapa beban tambahan biayanya. bisa milliaran rupiah," tuturnya.
Subandi mengungkapkan pelambatan layanan di JICT masih terjadi, bahkan pada Selasa 9 Januari 2018, GINSI masih menerima keluhan perusahaan importir di pelabuhan Priok menyangkut masih terjadi pelambatan layanan peti kemas di terminal JICT.
"Kemarin saya terima keluhan importir untuk kontainer yang hendak periksa melalui alat hi-co scan juga tidak bisa ketarik dan terlayani semuanya di JICT karena volume penarikan padat. Bahkan ada yang sudah dua hari lebih menunggu layanan hi-co scan dengan jumlah 8 kontainer diajukaan, namun baru satu kontainer yang ketarik, sisanya 7 kontainer belum bisa," ungkapnya.
Subandi mensinyalir, lambannya layanan tersebut akibat ketidakbecusan SDM/operator alat di lapangan. "Lagi-lagi importir menerima imbas buruknya, banyak kontainer enggak bisa diproses lanjut gara-gara keadaan di dalam terminal JICT padat akibat lambannya proses lift on/off oleh operator," ujar dia.