Bisnis.com, JAKARTA — Gaya hidup masyarakat yang memilih hidup sehat memengaruhi pola permintaan kemasan dalam negeri.
Ketua Federasi Pengemasan Indonesia Henky Wibawa mengatakan dengan perubahan gaya hidup, terutama masyarakat perkotaan, mengakibatkan penurunan permintaan untuk kemasan mi instan di sektor makanan.
“Untuk kemasan makanan ready to eat akan tumbuh, apalagi dengan pertumbuhan kemudahan membeli melalui Gofood, dan lain-lain,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (2/12/2018).
Pada 2016, jenis kemasan fleksibel, yang berupa kemasan berlapis tipis berbahan baku plastik atau aluminium foil seperti kemasan mi instan, mendominasi permintaan dengan porsi sebesar 45%. Jenis kemasan paper board, printing, dan boks karton memiliki porsi penjualan sebesar 28% secara total, disusul oleh kemasan plastik kaku atau rigid plastic untul botol minuman sebesar 15% hingga 16%.
"Selebihnya porsi kecil-kecil, seperti kemasan kaleng dari aluminium, kemasan gelas kaca, dan karung plastik atau wooven bag," kata Henky.
Untuk sektor minuman, dia menuturkan bahwa permintaan kemasan botol plastik untuk air minum dalam kemasan (AMDK) masih tetap tumbuh, sedangkan untuk minuman ringan tidak tumbuh signifikan.
“Susu siap saji dan air kelapa dalam kemasan juga masih tumbuh baik, orang semakin sadar soal kesehatan,” ujar Henky.
Secara keseluruhan, industri kemasan dalam negeri diperkirakan tidak ada pertumbuhan secara volume, tetapi dari segi nilai Henky memproyeksi tumbuh sekitar 5%—7% pada tahun ini. Pertumbuhan industri kemasan, lanjutnya, sangat dipengaruhi oleh sektor industri makanan dan minuman.
Lebih jauh, dia menyatakan bahwa industri kemasan memiliki hambatan dari sektor bahan baku. Pasokan dalam negeri baru mampu memenuhi 50% dari kebutuhan, sisanya dipenuhi oleh barang impor.
“Ke depannya, kita harus menyikapi bagaimana kemasan pada masa depan tidak mencemari lingkungan. Di negara maju, plastik bisa didaur ulang, tetapi harus diimbangi dengan teknologi supaya bisa masuk food grade,” jelasnya.