Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan mengungkapkan Mahkamah Agung tidak dapat menerima gugatan yang dilayangkan oleh beberapa orang terhadap beleid angkutan umum tidak dalam trayek yang di dalamnya terdapat aturan mengenai taksi dalam jaringan.
Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pitra Setiawan mengatakan gugatan tidak dapat diterima pengadilan biasanya karena legal standing tidak memenuhi atau karena pasal-pasal yang digugat pemohon telah diputuskan hakim pada sidang PM 26/2017.
Untuk diketahui, PM 108/2017 merupakan hasil revisi PM 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Namun, PM 108/2017 yang di dalamnya terhadap aturan mengenai taksi dalam jaringan kembali digugat di Mahkamah Agung.
"[Gugatan terhadap PM 108/2017] Istilah bukan ditolak, tapi tidak dapat diterima oleh pengadilan/NO [Bahasa Belanda]," kata Pitra di Jakarta pada Senin (1/1/2018).
Dia menjelaskan pihaknya belum mengetahui secara pasti penyebab gugatan yang diajukan oleh beberapa orang terhadap PM 108/2017 tidak dapat diterima karena masih menunggu salinan putusan dari Mahkamah Agung.
Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Indonesia Christiansen F.W. mengatakan pihaknya belum mengetahui mengenai gugatan terhadap PM 108/2017 yang tidak dapat diterima.
Namun, dia menegaskan asosiasi sejak awal mendukung beleid tersebut karena sudah mengakomodiasi semua pihak. "Yang pasti dari awal sikap ADO mendukung PM108/2017 karena sudah mengakomodasi semua pihak."
Dia menjelaskan pihaknya tengah mengawal agar beleid tersebut dapat terimplementasi dengan baik di lapangan.
Menurut dia, 13 perwakilan ADO telah melakukan audiensi dengan masing-masing pemerintah daerah untuk memastikan seperti pengujian KIR menggunakan emboss dan jumlah kuota yang akan ditetapkan melalui peraturan gubernur.
"Hanya saja saat ini kuota yang mau ditetapkan masih jauh dari jumlah kendaraan yang ada, terlebih perusahaan aplikasi belum menaati aturan PM 108/2017, yaitu masih membuka pendafataran driver baru," katanya.
Dia menambahkan alasan beberapa pemerintah daerah mengeluarkan kuota taksi daring lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang ada adalah karena jumlah kendaraan yang terdaftar sedikit.
Menurutnya, jumlah kendaraan yang terdaftar di suatu daerah masih sedikit lantaran banyak pelaku usaha taksi daring perorangan menunggu keluarnya badan hukum koperasi yang sedang dibentuknya.
Para pelaku perusahaan perorangan, lanjutnya tidak mau bergabung dengan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas lantaran harus balik nama STNK dan BPKB ketika bergabung, berbeda dengan berbadan hukum koperasi.
Pemerintah daerah, tegasnya harus mengubah jumlah kuota taksi daring yang ditetapkannya jika badan hukum koperasi yang tengah dibentuk para pelaku usaha taksi daring perorangan terbentuk.
Sementara terkait dengan wilayah operasi, asosiasi mengeluhkan sejumlah daerah yang memperkecil wilayah operasi taksi daring dengan sistem zonasi. Bahkan, lanjutnya terdapat beberapa daerah yang melarang taksi daring beroperasi di area publik tertentu.