Bisnis.com, JAKARTA—Kebutuhan gas bumi untuk pabrikan di Sumatra Utara semakin jauh melampaui pasokan gas. Hasilnya, produktivitas manufaktur di wilayah ini pun terganggu.
Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono berpendapat pabrikan yang beroperasi di Sumatra Utara sudah cukup lama menghadapi ketidakpastian terkait defisit pasokan gas.
Menurutnya, pertumbuhan kebutuhan gas bumi untuk industri di Sumatera Utara tidak sejalan dengan ketersediaan cadangan yang ada. “Dan pasokan gas untuk industri di Sumatra Utara sana memang relatif tidak stabil,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis.com, Senin (18/12/2017).
Salah satu penyebab nya merupakan cukup rumitnya mata rantai pasok gas di Sumatra Utara yang bergantung terhadap gas kilang Arun. Padahal, gas produksi kilang Arun tersebut merupakan hasil regasifikasi kilang Bontang. “Distribusi gas dari sana menggunakan pipa transmisi,” ujarnya.
Begitu panjangnya mata rantai pasok di Sumatra Utara, ujarnya, membuat industri gelisah terhadap kepastian distribusi gas pada daerah tersebut. Menurutnya, terdapat usulan dari industri yang menginginkan penyederhanaan rantai pasoknya gas di daerah tersebut.
“Ada yang berpikir kenapa tidak impor saja langsung dibawa ke Belawan, daripada harus dialirkan dulu lewat Arun, padahal di sana tidak ada gas, hanya hasil regasifikasi dari Bontang,” ujarnya.
Sigit menyatakan sebagai perbandingan rerata harga gas di Batam senilai US$3—US$ per MMBTU, atau lebih rendah ketimbang Sumatra Utara sekitar US$9—US$10 per MMBTU. “Gas di Batam murah, tapi Sumatra Utara tinggi. Industri di sana itu sama susah payahnya menekan cost, sampai ada yang beralih pakai solar,” ujarnya.
Kementerian Perindustrian memproyeksikan kebutuhan gas untuk industri pada tahun depan mencapai 867,07 BBTUD, atau naik hampir 5% dibanding kebutuhan gas pada tahun ini sebanyak 829,33 BBTUD.