Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan kembali membuka pintu amnesti bagi wajib pajak,dinilai sebagai pilihan pemerintah untuk melihat kepentingan yang lebih luas, meskipun Ditjen Pajak terlihat 'kebelet' untuk menggencarkan penegakan hukum pasca amnesti jilid satu.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyatakan selama ini problem mendasarnya adalah ketersediaan data yang akurat dan siap dieksekusi di lapangan.
"Kembali ke problem mendasarnya, sejauh mana data akurat tersedia dan siap dieksekusi di lapangan," tegas Prastowo, Senin (20/11/2017).
Kendati demikian, Prastowo menyanggah jika keputusan pemerintah untuk kembali memberikan amnesti itu dikarenakan melempemnya penegakan hukum yang dilakukan Ditjen Pajak.
"Kalau nyali saya kira mereka justru sudah kebelet, tetapi melihat kepentingan yang lebih luas, agaknya perlu dikontrol supaya tidak kontraproduktif," imbuhnya.
Adapun keputusan memberikan amnesti berupa penghapusan denda kendati dengan syarat melakukan pengungkapan harta sendiri bisa jadi bukan pilihan yang tepat, apalagi kelonggaran itu juga diberikan WP yang tak ikut tax amnesty. Keputusan itu justru dikhawatirkan menjadi simalakama bagi kredibilitas lembaga otoritas pajak.
Pasalnya apabila dicermati, selain soal pembebasan denda, revisi PMK juga mengubah mekanisme holding period 3 tahun untuk harta deklarasi dalam negeri dan repatriasi. Jika sebelumnya WP tak lapor, hartanya bisa langsung dianggap penghasilan. Dalam revisi PMK, ketentuannya mesti melalui mekanisme pengujian sebelum dianggap penghasilan.