Bisnis.com, JAKARTA—Bisnis pengolahan makanan minuman masih menjadi peluang investasi favorit meski dibayangi melandainya performa penjualan pada tahun ini.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman menyatakan biasanya tren investasi bergerak paralel dengan kenaikan permintaan.
“Sebenarnya tahun ini bisa itu dibilang cukup berat untuk berinvestasi karena penjualan sedang melesu. Investor rasanya perlu banyak memainkan inovasi produk, itu yang menjadi kunci,” ujarnya kepada Bisnis (31/10).
Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat nilai penanaman modal dalam negeri pada industri makanan minuman selama periode Januari—September tahun ini mencapai Rp 27,92 triliun, atau naik 16% bila dibanding periode yang sama pada 2016 senilai Rp 24 triliun.
Sementara itu, penanaman modal asing pada sektor industri makanan minuman periode Januari—September tahun ini tercatat senilai US$1,46 miliar, atau turun 9,8% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$1,62 miliar.
Adhi memproyeksikan pertumbuhan industri makanan minuman pada tahun ini lebih lemah dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan industri makanan dan minuman pada 2016 sebesar 8,5%. Adapun hingga kuartal II-2017 hanya tumbuh 7,19%.
“Kelihatannya untuk tahun ini enggak akan terlalu tinggi, mungkin sampai akhir tahun hanya tumbuh 6%,” ujarnya.
Menurutnya, penurunan angka penjualan makanan minuman sejalan dengan kinerja penjualan ritel yang ikut melambat. Adhi menyatakan pemerintah mesti menggenjot konsumsi rumah tangga dengan mengakselerasi belanja pemerintah pada akhir tahun.
“Secara tradisional biasanya permintaan makanan minuman yang paling kuat saat Lebaran. Penjualan kami pada Lebaran kemarin saja jeblok bagaimana nanti di akhir tahun, terus terang kami was-was,” ujarnya.
Dalam situasi seperti itu, ujarnya, pemerintah perlu memberikan kemudahan terhadap akses bahan baku. Hanya saja, pabrikan makanan minuman mendapat sejumlah hambatan terhadap akses bahan baku.
“Mulai dari garam, gula, susu, juga hasil ternak, yang ujung-ujungnya mempersulit akses terhadap perolehan bahan baku. Apa yang kami butuhkan itu adalah regulasi yang mempersulit impor produk jadi dan memberikan kemudahan terhadap bahan baku,” ujarnya.