Bisnis.com, JAKARTA - Neraca perdagangan diproyeksikan surplus di atas US$1,2 miliar, di mana kenaikan ekspor didorong perbaikan harga komoditas dan impor mengalami normalisasi.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan tren surplus tersebut sebagai lanjutan dari tren pada bulan sebelumnya di mana terjadi kenaikan ekspor baik migas maupun non migas.
“Kenaikan ekspor didorong oleh perbaikan harga komoditas batu bara dan sawit yang menunjukkan rally,” kata Bhima kepada Bisnis.com, Kamis (12/10).
Dari sisi impor, Bhima mengatakan seperti Agustus, September tampaknya mengalami normalisasi khususnya pada bahan baku dan barang modal setelah mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada Juli 2017.
Menurutnya, yang perlu dicermati pada September adalah adanya potensi kenaikan impor barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan natal dan tahun baru.
“Sementara itu, untuk impor bahan baku dan barang modal diprediksi akan tertekan akibat depresiasi nilai tukar rupiah sehingga pelaku industri ada kecendrungan menahan impor bahan baku.”
Lebih lanjut, untuk impor bahan baku dan barang modal, diprediksi akan tertekan akibat depresiasi nilai tukar rupiah akan berlangsung hingga akhir tahun. “Iya kelihatannya sampai akhir tahun menunggu rupiah stabil dan permintaan masyarakat kembali naik,” katanya.
Oleh sebab itu, diharapkan agar Pemerintah, dalam hal ini adalah Bank Indonesia, untuk menjaga fluktuasi nilai tukar rupiah mengingat hal itu akan berdampak terhadap mahalnya bahan baku di mana lebih dari 60% bahan baku industri diperoleh dari impor. “Idealnya rupiah sampai akhir tahun stabil di level 13.300-13.400,” katanya.